"Da... i... ki..."
Suara samar-samar itu kembali terdengar. Tampaknya aku sudah kembali sadarkan diri. Pandanganku gelap, mungkin karena aku belum membuka kelopak mataku.
Satu... dua... tiga...
Perlahan, duniaku kembali bercahaya kembali seiring membukanya kelopak mataku. Aku dapat melihat Asaki, gadis bersurai cokelat itu tampak cemas. Namun, sedetik setelah melihatku, wajah cemasnya berganti menjadi wajah cerianya yang biasa, tak lupa memamerkan senyum beserta lesung pipinya yang manis.
Dan... satu lagi, seorang pemuda bersurai hitam legam, tak lupa dengan sorot mata tajamnya yang menatapku lekat-lekat. Kutatap dirinya dari ujung kepala hingga ujung kakinya. Namun, tatapanku berhenti di tangan kanannya.
Memori itu benar. Tangan kanannya itu menjuntai lemas tanpa tenaga.
"Jadi bagaimana? Kau sudah ingat?" tanya Aki.
"Aki!" sergah Asaki.
"Tenang, Asaki." ucapku, "Tanganmu... itu semua karenaku, bukan? Hari itu... semuanya terjadi karena kesalahanku, bukan?"
"Heh, ternyata kau ingat." tanggap Aki, "Kau benar-benar berbeda dark terakhir kali kita berjumpa. Kupikir dengan mengingat itu semua, kau akan menangis meraung-raung. Kurasa amnesia juga membuat kepriadianmu berbeda."
"Aku tahu itu semua salahku." tuturku, "Aku..."
"Jangan meminta maaf. Kau sudah tahu aku tak akan pernah memaafkanmu." selanya, "Nii-san, kau tak akan pernah tahu bagaimana perasaanku hari itu. Kau merenggut semuanya, kau merenggut impianku."
Aku terdiam.
"Lihatlah aku sekarang, Nii-san." ucapnya parau, "Lihat aku. Impianku yang ingin menjadi komikus pupus sudah. Menggambar bagai segalanya bagiku, satu-satunya caraku untuk melupakan semua bebanku."
"Lihat, Nii-san! Aku sudah tak mampu melakukannya lagi. Bahkan sekarang, melakukan apapun juga tak semudah dulu." lanjutnya, "Aku sudah tak memiliki apapun lagi. Padahal kau memiliki ayah, ibu, dan Asaki yang selalu menyayangimu. Tapi aku-"
"Kau lupa sesuatu." potongku, "Kau masih memiliki aku."
Aki tertawa sinis, "Kau? Kau adalah orang yang paling kubenci. Lebih baik aku mati daripada aku harus bergantung padamu."
"Kau salah." tanggapku, "Mungkin lisanmu mengatakan seperti itu, tapi hatimu tidak."
"APA YANG KAU KETAHUI DARIKU, HAH?" seru Aki, "JANGAN BERPURA-PURA SEAKAN KAU MEMAHAMIKU! KAU-!"
Ucapannya terputus seakan airmatanya meleleh, membasahi pipinya. Aku tersenyum kecil, lalu berdehem.
"Kau bilang waktu itu, kau tak ingin melihatku lagi." ucapku, "Tapi, lihatlah dimana kau berada sekarang. Untuk apa kau kesini jika bukan karena mencemaskanku?"
"Huh?" Asaki melongo, "Jadi..."
"Bagaimanapun juga, meski kita tidak terhubung oleh darah, namun kita tetaplah adik dan kakak." lanjutku lagi, "Kau tahu itu kan? Meski kau berusaha membenciku... meski kau berusaha membunuhku... Pada akhirnya, kau merasa bersalah. Pada akhirnya juga, kau mencemaskanku."
"Ter... Terserah!" seru Aki seraya bangkit berdiri, "Aku pulang!"
Aku bertukar pandangan bersama Asaki sebelum kami saling melempar senyum. Ya, dia mengerti apa yang terjadi sekarang.
Daiki-san, kau memperhatikannya? Dia sebenarnya masih menyayangimu, meski perasaannya itu sangat terpendam. Terpendam jauh... jauh di lubuk hati terdalamnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
One More Chance
Teen FictionCinta pertamaku. Bagaikan musim panas dan musim dingin. Takdir memisahkan kami. Saatku berpasrah diri menerima kenyataan pahit, Tuhan memberiku kesempatan kedua. Natsuki (Summer) and Fuyuki (Winter) ⓒspringinsouth [D I S C O N T I N U E D]