4 - Dream

78 22 0
                                    

Cherry Blossom.

Bunga berwarna merah muda yang mekar hanya dalam 7 hari itu sudah mulai bermekaran. Dari apartemenku yang terletak di lantai tiga, tentu aku bisa melihat jelas deretan pohon sakura yang tengah bermekaran itu

Musim semi telah tiba.

Ya, musim semi yang merupakan pertanda tahun ajaran baru telah datang, seakan mengingatanku bahwa aku akan mulai mengajar sebentar lagi.

Tentu aku gugup, mengingat sebulan yang lalu aku masih hanya seorang siswa SMP biasa.

Bisakah aku?

Pertanyaan itulah yang sangat menggangguku. Haruskah aku mengajar? Aku tak yakin apakah aku bisa menghadapi murid-murid itu nantinya.

Bagaimana jika mereka mengabaikanku nanti?

"Sheesh, kau terlalu khawatir. Tenanglah, Daiki mengajar di sekolah terkenal yang biasanya isinya murid-murid yang serius belajar."

Aku tak yakin apa yang ia katakan itu bermaksud untuk menghiburku atau tidak. Shiro, gadis emotionless itu sangat sulit ditebak.

"Itu bukan karena aku emotionless, bodoh." seru Shiro, "Aku ini dewa kematian, kau tidak bisa menyamakanku dengan manusia biasa."

Suatu hal tidak boleh dilihat hanya dari luarnya saja. Gadis ini boleh jadi memiliki wajah yang bisa dibilang cantik dan terlihat penurut serta pendiam, namun kepribadiannya benar-benar kontradiksi. Satu lagi, dia sangat menyebalkan.

"Mengapa kau disini lagi, Shiro?" tanyaku, "Kupikir kau datang kesini hanya ingin membantuku dengan memberiku memori Daiki? Apalagi yang kau inginkan?"

"Tidak ada." balasnya singkat, "Aku hanya tidak punya hal lain yang ingin kukerjakan."

Jawaban macam apa pula itu.

Aku menghela nafas, sepertinya lebih baik aku menyerah. Berdebat dengannya lebih lanjut tidak akan memberi apa-apa padaku.

"Hey, omong-omong." celetuknya, seakan tak dapat membaca situasi bahwa aku sudah malas berbicara dengannya, "Mengapa kau memutuskan untuk mengajar? Kalau alasanmu karena tidak ingin membuat gadis bernama Asaki itu curiga, kau bisa saja kan', membuat alasan lain?"

"Itu karena..." Aku menghentikan ucapanku. Memori Daiki kembali terngiang.

"Aku mengerti sekarang..." Shiro tampaknya membaca pikiranku lagi, "Daiki, huh? Padahal dia sudah tiada."

"Ya... kau benar." tanggapku, tersenyum pahit, "Tapi ini impian Daiki. Dan disaat ia sudah meraihnya, aku merenggutnya."

"Meski begitupun, itu tak ada hubungannya."

"Mungkin kau benar."

Shiro memang ada benarnya. Meski ada kemungkinan aku adalah penyebab kematian Daiki, namun tetap saja impiannya tak ada hubungannya denganku.

Memori Daiki-lah yang menggerakkanku.

.

"Ayah, ibu... mengapa? Aku mengerti kita berasal dari keluarga terhormat, tapi apa hubungannya itu semua dengan pekerjaanku?! Guru itu pekerjaan mulia, bukan?"

Pemuda itu menghela nafas. Ia mengacak-acak rambutnya dengan kasar, menandakan hatinya tengah kacau. Sia-sia rasanya apapun yang ia katakan, kedua orangtuanya tak menghiraukan apa yang dia katakan.

"Kau bilang kau mengerti? Heh." sang ayah angkat bicara, "Kalau kau mengerti, kau tidak akan memilih profesi ini."

"Justru itu, ayah! Bukankah guru adalah profesi yang mulia?!"

"Kau masih terlalu naif. Kau pikir semua guru seperti itu?" kini sang ibu ikut dalam perdebatan itu, "Kalau kau menjadi guru di SMA Murakami, aku baru bisa yakin. Karena, SMA itu sudah pasti tidak menerima suap."

"Tapi, bagaimana dengan sekolahmu itu? Sekolah buangan!" lanjut ibunya, "Kau itu kami didik bukan untuk menjadi guru di sekolah buangan! Lihatlah, kau lulus kuliah di usia muda, tapi apa yang kau lakukan sekarang? Lebih baik kau persiapkan dirimu untuk melanjutkan bisnis ayah atau menjadi politikus mengikuti jejak ibu. Atau, dengan koneksi ayah, kau menjadi guru di S-"

"Diam, ibu! Kau tidak mengerti!" seru pemuda itu, "Aku ingin memulai semuanya dari nol. Dari usahaku sendiri. Mengapa kalian tidak mengerti?!"

BUAK.

Pemuda itu tersungkur setelah kepalan adiknya mendarat di wajahnya. Pemuda itu menatap lekat-lekat manik hitam adik yang merupakan orang yang paling disayanginya itu, bertanya mengapa sang adik tega melakukan itu padanya. Namun yang ia dapa hanyalah tatapan benci dari adiknya.

"Mengapa, Aki?" tanya pemuda itu dengan suara seraknya, jelas ia menahan air matanya meleleh.

"Daiki-nii." panggil adiknya, dengan nada yang dingin, " Bagaimana bisa kau memperlakukan ibu seperti itu?!"

SLAP

Pemuda itu membelalakkan matanya. Tamparan sang ibu mendarat dengan sempurna di pipi adiknya, membuat wajahnya memerah menahan sakit.

"Aku tak butuh belas kasihanmu, Aki." sang ibu melipat tangan di depan dadanya, "Dan lihat apa yang kau perbuat! Kau memukul kakakmu sendiri!"

Sang adik mendecih. Sorot matanya yang semakin tajam seakan ingin menusuk kakaknya sendiri. Sang kakak akhirnya bangkit, menenggak ludahnya sendiri sebelum mengumpulkan keberaniannya untuk angkat bicara.

"Kalau begitu, ayah, ibu." ucapnya, "Bagaimana jika begini? Jika dalam 3 bulan aku tidak masuk ke SMA Murasaki sebagai guru, aku baru akan mengikuti perintah ayah dan ibu. Berilah aku waktu, 3 bulan cukup bagiku."

Kedua orangtuanya berpandangan. Sang ayah menghela nafas, sepertinya ide gila anaknya ini patut dicoba. Toh, tidak ada ruginya, ide itu terlalu mustahil dan pada akhirnya anaknya itu pasti akan mengikuti kata-katanya.

"Baiklah, 3 bulan. Tidak ada perpanjangan waktu." ucap sang ayah akhirnya, sebelum bangkit berdiri dan berjalan, diikuti oleh istrinya dan anak bungsunya yang mengekor.

"Lihat saja nanti!" gumam pemuda itu. Seulas senyum penuh harapan menghiasi wajahnya, yakin dia akan meraih mimpinya.

Tak terasa, 3 bulan berlalu setelah kejadian itu. Dan pagi ini, pemuda itu sudah bersiap untuk pergi dengan seragam yang sudah disetrikanya tadi malam.

Seragam untuk guru SMA Murasaki.

Senyum tak dapat lepas dari wajahnya. Pagi ini, dengan senyum kemenangan ia bisa dengan bangga menunjukkan seragam barunya.

"Kau lihat itu, Ayah, Ibu?!"

.

Huh?

Ah, aku melamun lagi tentang memori Daiki yang itu. Memori itu benar-benar luar biasa, dan itu menunjukkan padaku watak Daiki. Daiki yang lembut, penyayang, dan pantang menyerah. Meski kedengarannya mustahil, namun pada akhirnya ia membuktikan bahwa keajaiban tak hanya terjadi di film atau novel belaka.

Daiki benar-benar luar biasa... Sangat berbeda denganku.

Hidupku kujalani dengan biasa saja. Tanpa impian, tanpa arah. Aku bukan siswa yang menonjol. Nilaiku rata-rata dan aku juga tidak pernah membuat keributan. Aku... menjalani hidupku dengan melalui hari-hari yang terbuang sia-sia.

Tuhan, kesempatan kedua ini... mungkinkah Kau berikan padaku agar aku menyadari ini?

Namun... rasanya semuanya sudah terlambat. Aku tak ingin mempunyai impian atau tujuan lagi, aku hanya ingin menjalani hidupku sebagai Daiki.

Sebagai penebus dosaku hari itu.

Daiki, jika benar aku adalah penyebab kematianmu... Apakah kau bisa memaafkanku?

Daiki... Meski kau sudah tidak disini, aku berjanji akan terus melindungi Asaki. Jadi... kau tidak perlu khawatir.

Daiki... banyak hal yang ingin kutanyakan padamu. Bisakah kau mendengarku?

.

TBC

One More ChanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang