8.5 - Fuyuki Point of View

145 23 4
                                    

Kyoto, Musim Dingin

Aku menatap layar ponselku tak percaya. Aku... berhasil masuk SMA Murasaki?!

Aku melompat-lompat kegirangan. Dan tanpa kusadari, aku berteriak-teriak tidak jelas hingga orang-orang di sekitarku menatapku dengan penuh tanda tanya.

Namun aku tak peduli.

Aku segera menekan beberapa angka untuk menelepon ibuku. Aku yakin, ia tak akan kalah senang! Ibuku pasti sangat bangga kali ini!

Tuut... Tuut... Klik!

"Halo? Fuyuki-chan, ada apa?"

"Aku diterima di SMA Murasaki, ibu! Ibu dengar itu? SMA Murasaki!"

"Kerja bagus, Fuyuki-chan. Ibu bangga padamu. Apa kau sudah memberi tahu ayah?"

"Belum... Tapi aku tak yakin ingin meneleponnya."

"Begitukah? Coba saja kali ini... Aku tahu perasaanmu karena kelakuannya, tetapi mengapa kau tidak coba saja sekali ini?"

"Emm... Baiklah..."

.

"Fuyuki-chan."

Aku segera mengelap airmataku ketika aku mendengar suara itu. Tidak, dia tidak boleh melihatku menangis. Aku sudah merepotkannya dengan memintanya jauh-jauh datang kesini, dan aku tidak boleh membuatnya merasa canggung karena tangisanku.

"Fuyuki-chan, apa sesuatu terjadi?"

"...Tidak." jawabku. Shit! Suaraku menjadi parau, aku kini yakin ia sadar aku tengah menangis.

"Tidak usah disembunyikan." ucapnya. Tangannya memegang bahuku, kemudian membalikkan badanku menghadap ke arahnya. Aku segera menundukkan kepalaku, aku benar-benar malu untuk menunjukkan wajahku sekarang.

"Jelek."

"Hah!?" seruku, reflek. Ada seorang gadis yang tengah menangis di depannya, dan ia lakukan adalah mengataiku? Harusnya dia menghiburku seperti yang di drama-drama yang kutonton kemarin. Dasar laki-laki!

"Sembarangan kamu! Aku ini primadona SMP Kiyohara, dan seharusnya kau merasa beruntung menjadi temanku!" cibirku kesal, "Dan sekarang kau malah mengataiku 'jelek'? Coba kau ulangi sekali lagi ucapanmu itu! Aku a-"

PUK

"Itu baru Fuyuki yang kukenal." ucapnya, sembari tersenyum lebar, memamerkan deretan gigi putih bersihnya. Tangannya kini mengelus kepalaku, sebuah habit atau kebiasaan yang selalu ia lakukan ketika ia melihatku tengah sedih.

Aku tersenyum. Padahal barusan, aku baru saja tengah sedih, namun kehangatan tangannya ini seakan menghapus semua kesedihanku.

"Hari ini, kau ada masalah apa?" tanyanya tiba-tiba, "...Ayahmu?"

Aku tertawa kecil, "Kau memang sangat peka, ya."

"Apa yang ayahmu lakukan kali ini?" tanyanya lagi. Ya, kalo sudah menyangkut ayahku, dia langsung menjadi serius.

"Dia..." ucapanku menggantung. Aku tak bisa mengucapkannya, rasanya aku ingin menangis lagi jika mengingatnya.

"Sudahlah. Lupakan saja, aku tak ingin kau menangis lagi." selanya, "Hei, hari ini hari ulang tahunmu, bukan? Lupakan saja lelaki itu. Lebih baik hari ini kita bersenang-senang saja... Kau ingin kemana, hm?"

"Taman yang biasa kita kunjungi!" seruku bersemangat. Dia tertawa, lalu mengikuti aku yang segera berlari.

Taman itu tak berubah sejak tiga tahun lalu, ketika aku dan dia pertama bertemu. Saat itu juga musim dingin, pohon cemara yang menghiasi taman itu juga terselimuti salju. Hahh... benar-benar membuatku mengenang saat-saat itu.

One More ChanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang