22 - All In

1K 54 0
                                    

Believe me when I tell you this, something is going on with me, and I have no idea what, something is definitely changing. Bukan hanya perasaan gue saja, tapi ini sepertinya sesuatu yang benar-benar serius. Setelah enam minggu berlalu, kata-kata dari cerita Lacy mulai menyerap gue. Bagaimana kalau ternyata gue sama kayak dia? Tapi, bagaimana bisa? Sepertinya harus gue pastikan, deh, benar atau tidaknya.

"I got news for you," ucap gue duduk di sebelah Hunter pada suatu malam.

"Oh, ya? Apa? Baik atau buruk?" balasnya tertarik.

"Gue menyerahkan keputusan itu ke lo."

"Okay. Hit me," dan dia gue pukul. "Hei, untuk apa itu?" tanya dia sambil mengelus-elus tempat yang baru gue pukul.

"Lo bilang tadi 'hit me',"

"I don't mean literary, Goody," dan gue tertawa.

"Okay, balik serius," gue diam sesaat. "I'm pregnant," ucap gue sambil menunjukkan salah satu dari test pen yang sudah gue coba berkali-kali. Dia tertawa, tapi kayak hanya basa-basi, mukanya sama sekali gak menunjukkan bahagia, malah lawannya. "Gue gak tahu apa lo senang atau kesal," ucap gue tentang responnya.

"Dua-duanya."

"Kok, labil?"

"Ya, iya. Gue senang karena lo adalah cewek yang ngomong, not some skank, and I'm pissed because I can't have you all to myself anymore."

"Dan...?"

"Sudah, itu saja."

"I'm thinking about abortion."

"Gak, jangan!" balas Hunter terlalu cepat. Apa dia pikir gue serius?

"Gue bercanda, lo tahu itu, kan?" gue melirik ke arah dia.

"No. Gue gak tahu," dan respon gue hanya menggeleng. Dia mengira gue serius! Gue gak segila itu juga kali, ya.

Semua orang menyadari perubahan gue setelah gue tiba-tiba membengkak, awalnya gue mengaku-ngaku kalau gue tambah berat, tapi lama-lama ketahuan juga, terpaksa ngaku, deh. Sebagai penghematan, gue memanfaatkan nyokap gue yang bekerja sebagai OB, bayarannya memang bensin ke New York, tapi setidaknya yang lainnya free. Kalau ada tambahan, Nyokap gue memaksa gue supaya dia yang bayar. Gue juga dicecer untuk memberitahu siapa cowoknya. Gue gak mau mengaku awalnya, tapi tiba-tiba pemikiran gue loncat ke pikiran nyokap gue. Kalau gue gak bilang siapa cowoknya dalam waktu dekat ini, nyokap gue akan berpikir gue juga sebenarnya gak tahu siapa. Ngaku, deh, gue akhirnya.

Nyokap gue ngira kalau gue dipaksa, dan hal ini adalah hasilnya-by the way, nyokap gue tahu kebencian gue ke Hunter, itulah kenapa dia bisa berpikir begitu-tapi gue meluruskan dengan bilang kita pacaran. Padahal juga gue gak tahu apa status gue dengan Hunter, kita gak pernah membicarakan hal itu. Dia memberi gue cincin tapi gak pernah mengeluarkan pertanyaannya dan gue juga gak minta dia. Jadi, ya, setidaknya gue berpikir pacaran adalah hal terdekat dengan apapun status kita ini. Nyokap gue, sih, memang mengangguk-angguk ketika gue meluruskan ceritanya. Tapi seperti nyokap di manapun, pasti gak suka kalau anak mereka sudah 'isi' sebelum menikah, gue juga sadar akan hal itu. Mungkin seharusnya gue gak datang ke Nyokap, tapi akhirnya orangtua gue akan tahu. Yakin, setelah gue pulang, Nyokap akan lapor ke Bokap.

Mungkin seharusnya gue marah sama Hunter yang lebih sibuk sama pekerjaannya dari pada ke gue. Tapi gak tahu kenapa gue malah berlawanan. Gue gak keberatan sama sekali, mungkin karena pada dasarnya dia butuh waktu sendiri. I caught him off guard, mungkin dia masih berusaha menyesuaikan dirinya di situasi baru, atau menghindari gue... Atau mungkin memang dua-duanya. Akhir-akhir ini dia pulang agak malam. Katanya, sih, ada pekerjaan, rapat-rapat konferensi yang berbeda waktu, mudah-mudahan dia bilang yang sejujurnya. Kalau enggak, artinya dia adalah orang yang selama ini gue kira, brengsek.

You, Me, and PrejudiceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang