24 - All On Us

1K 58 0
                                    

Setelah keluar dari rumah sakit, gue merasa kalau ada yang salah dengan Clavine, jadi gue membawa dia ke rumah sakit dan mengecek, semuanya normal. Mungkin gue hanya paranoid saja. Biasa, Lacy bilang dia juga begitu ketika baru punya Dean. Dia cerita apa saja yang dia alami, ketika dia punya Dean. Dia sudah siap, sementara gue belum begitu, apalagi dikasih double, jadi gue dengan terpaksa keluar dari pekerjaan gue. Gue gak bisa nge-balance antara anak gue dengan pekerjaan. Mungkin bukan gak bisa, hanya belum bisa. Lacy sudah seperti guru gue saja, setiap ada pertanyaan yang butuh jawaban, pasti gue tanya dia. Dia itu contoh ibu yang baik. Gak kayak gue, gampang kewalahan sendiri, maka itu gue harus banyak belajar dari dia.

Banyak bulan sudah berjalan, tapi gak sekalipun Hunter membahas tentang bagaimana kelanjutan kita. Apa dia sudah gak tertarik lagi? Mungkin memang dugaan gue benar, dia memang tipe 'itu'. Ketika masih suka, dikejar terus. Setelah dapat, dilepaskan. Kenapa gue bisa jatuh ke perangkapnya?

"Kapanpun lo siap," ucap dia dari belakang gue lalu mengecup leher gue. He's a sweet guy after all. Gue balik badan dan memberi dia tatapan bingung. Dia meraih kalung yang gue pakai, mengeluarkan bandulnya dari tempat persembunyiannya di dalam kerah baju gue. Sekarang gue yakin dia bisa membaca pikiran gue. Bisa banget ketika itu, gue lagi berpikir dan tiba-tiba dia muncul lalu tepat seperti yang gue pikirkan.

"You technically never pop the question," balas gue santai.

"Well then, you just have to wait."

"I hate you," dan maksud gue sebaliknya.

"I know," dan Hunter tahu itu, "and I love you. Hanya karena lo gak mau mengeluarkannya dalam bentuk kata-kata, bukan berati gue akan," dan dia mencium bibir gue.

Apa lagi yang dia tunggu? Apa gue yang harus mulai duluan? Apa gue yang harus bilang keputusan gue duluan? Tapi apa gunanya? I want him to say the word, soalnya kalau enggak, rasanya seperti karena kewajiban, bukan memang mau.

**

Gue tahu ini semacam cliché, tapi ini nyata. Pada satu malam, lebih tepatnya tengah malam, gue terbangun tanpa sebab. Kasur di sebelah gue hangat tetapi rata, gak ada manusianya, ke mana Hunter? Jadi, gue keluar kamar, meliat kalau pintu kamar bayi terbuka. Pertama gue mengira ada yang menculik anak gue, tapi setelah gue dekati, gue dengar suara Hunter, dia menceritakan sesuatu. Gue intip dari pintunya, gue melihat dia menggendong Claryne di satu tangan, di tangan satunya lagi ada Clavine. Sepertinya yang dia bercerita seru, setelah dengarkan beberapa saat, gue baru sadar dia menceritakan masa-masa kita masih di SMA. Bagaimana dia mencoba hal-hal untuk mendekati gue tapi gak pernah berhasil, gak menyerah setelah kita lulus, and it's really sweet, I shed a tear. Gue juga menyadari kalau gue salah mengartikan perasaan gue, I never hated him, I've loved him all along. Itulah kenapa gue gak pernah punya alasan kenapa gue membenci dia, karena memang gue gak pernah membenci dia, kenapa gue begitu bodoh?

Gue tertangkap menguping cerita dia di depan kamar bayi. Dia kelihatan malu, pasti dia pengin tahu berapa lama gue duduk di sana mendengarkan cerita dia, seberapa banyak yang gue tahu. Gue yakin sekarang berbagai macam pertanyaan mulai terbentuk di kepalanya itu.

"Is that really how you feel?" tanya gue masih duduk di lantai.

"Yes, sampai ke setiap detailnya."

"Apa mereka nangis?" tanya gue mengalihkan topik.

"Ya, lumayan keras," dia duduk di sebelah gue.

"Maaf gue gak bangun."

"Gak pa-pa, sepertinya lo nyenyak banget."

"I wish I knew," bisik gue balik ke topik awal.

"Kenapa memang kalau lo tahu?"

"Mungkin gue gak akan sebegitunya ke lo," dia mendengus sambil tersenyum.

"I don't have the guts to tell you, and you also hate me. Gue gak tahu apa lo akan makin benci gue kalau gue bilang, lebih baik gue diam saja dan terus jadi cowok yang lo benci. At least I'll be somebody to you," dia berdiri, mengulurkan tangan untuk menarik gue berdiri, "let's go back to sleep."

"Tapi gue gak ngantuk."

"Sama," ha, pikiran kita menyambung... Dia juga memikirkan apa yang gue pikirkan, keren.

Gue sudah gak menghitung, I lost count. Sama seperti sebelum-sebelumnya, gue selalu mengeluarkan kekesalan gue, dan Hunter selalu menerima dengan santai, tapi kali ini, kesantaian itu menghilang. Mungkin dia capek gue gak pernah mengaku. Dia duduk di kasur dan menarik gue supaya ikut duduk-gue mengaku gue berat, sama sekali gak enteng-dia mengangkat gue kepangkuannya seperti mengangkat kapas. Sekarang kita sejajar, dia menatap gue, gue menatap balik, suddenly, he give me a rough, nibbling, and really hot kiss, dan melepaskan ketika saat gue mulai menikmatinya, menyebalkan.

"Just for once, say what you really mean," dia mau gue bilang kalimat itu, seperti gue sebenarnya gak kepengin saja.

I lean in to his ear and whisper, "I love you," gue berhasil! Gue gak kehilangan nyali gue! Oh my God! Akhirnya!

"I knew it!" bisik dia sambil kembali mengklaim diri gue.

You, Me, and PrejudiceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang