17 - What Now?

1.1K 60 1
                                    

I got evicted. Gak bayar dua bulan karena gue malas bayar, dan sekarang gue homeless. Entah kenapa gue malah pengin diusir. Gue balik ke apartemen gue yang lama tapi ternyata sudah disewa orang lain. Ya sudah, deh. Tololnya gue kenapa gak memengecek dulu sebelumnya. Gue mencari apartmen lain yang harganya bisa cocok dengan kantong gue, dan gak ada... Aduh, sedih. Mau gak, ya, Lacy, gue tumpangi? Tapi, kan, dia punya anak. Gak, deh, kasian. Ewa? Dia pasti bersenang hati, tapi gue gak mau jadi bahan dikasihani. Atau lebih baik gue kembali saja tinggal dengan orangtua gue? Gak, ah, kayak gak punya kehidupan saja, seumur gue masih tinggal dengan orangtua.

Untuk dua hari pertama, gue kayak gypsy, tidur di mobil di parkiran apartemen, biarpun gue harus bayar parkirnya. Hitung-hitung bayar sewa perhari saja. Kalau mandi, gue datang ke motel jam-jaman murah, yang penting ada air, sabunnya gue punya sendiri. Kalau mau makan, datang ke mini market dan beli makan. Sedih banget hidup gue, miris... Di hari ketiga, gue mulai terbiasa menjadi homeless punya mobil. Tapi biarpun begitu, gue juga tetap mencari-cari rumah, gak mau lah gue selamanya tinggal di mobil. Satu minggu setelahnya keadaan gue masih sama. Lama-lama kebiasaan, deh, gue kayak gini, tanpa rumah dan terus berpindah-pindah.

Ketika masuk bulan baru, gue mau gak mau harus mulai me-restock makan gue, kalau enggak gue akan boros dan beli melulu. Gue harus mencari pekerjaan lagi, nih. Butuh uang, walaupun sudah ke-reduce gak bayar sewa, gue tetap butuh pekerjaan. Gue bahkan melamar ke mini market dan semua lowongan yang bisa gue temui, tapi gak ada yang mau memenerima gue karena pendidikan gue terlalu tinggi. Ternyata pendidikan tinggi gak menguntungi sama sekali, sama saja seperti pendidikan normal.

Biarpun gue tinggal berpindah-pindah, gue selalu datang ke supermarket yang sama, gue cocok sama harganya. Barangnya sama tapi harganya lebih murah, untung di mana, ya, mereka jual murah barang-barang mereka? Sedang berpikir tiba-tiba troli gue menabrak orang.

"Eh, maaf," ucap gue reflek. Dunia yang sempit, gue menabrak Hunter.

"Triana, lo dari mana saja?"

"Eh, gak dari mana-mana..."

"Hampir dua bulan lo menghilang dari semua tempat. Lo diusir dari apartemen lo?"

"Tahu dari mana? Lo datang ke apartemen gue?"

"Dua-duanya. Nomor lo juga sudah deactived."

"Nyariin gue, lo?"

"Iya."

"Oh, maaf, gue gak menetap di manapun sekarang."

"Kenapa?"

"Well, gara-gara lo, gue gak punya pekerjaan, rumah, dan uang. Ini saja sudah tinggal sisa-sisa."

"Lo serius?"

"Ngapain gue bercanda?"

"Lo harusnya bilang sama gue."

"Kenapa gue harus bilang sama lo? Lo penyebabnya."

"Gue bisa bantu lo."

"Sudah, bayar parkir mahal," gue menghindar dari dia. Tapi dia menahan bahu gue ketika gue melewati dia.

"Gue bisa bantu lo," nadanya memang tajam. Gue sudah membayangkan tatapan tajamnya, tapi ternyata tatapannya enggak begitu, tatapan normal.

"Apa yang lo bisa bantu?"

"Lo bisa tinggal di rumah gue."

"Gue gak terima dikasihani."

"Ini bukan dikasihani. Gue mau lo tinggal di rumah gue," sejak kapan Hunter jadi dominan?

"Kita belum sampai tahap itu," balas gue.

"Tahap mana, kita?" tatapannya langsung berubah jahil, dia memundurkan kepalanya sambil tersenyum.

You, Me, and PrejudiceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang