14 - What's Next?

1.2K 65 0
                                    

Pembicaraan terakhir baru saja terjadi, yang berarti target itu dimulai dari sekarang. Mungkin selama gue di ruangan Hunter, tiga perempuan di luar itu melanjutkan obrolan mereka. Kenapa coba, Hunter tiba-tiba muncul, nge-jb pembicaraan kita, dan bawa gue ke ruangannya? Buruk atau bagus, ya?
"Kenapa?" tanya gue setelah kita masuk ruangan dan pintu ditutup.
"Triana, kalau dikantor usahakan jangan kayak biasanya lo di luar ya, gue gak mau para pegawai gue jadi melunjak gara-gara mencontoh apa yang lo lakukan. Setelah pulang kantor dan mereka sudah gak ada, terserah, deh."
"Keep it professional. Okay," gue mengangguk, bagaimana juga dia bos gue, harus mengikuti perintahnya... Mulai terbiasa gue.
"Good," dia senyum. "Selanjutnya apa?" dia sedekap di depan gue.
"Gue gak bocor," gue menggelengkan kepala.
"Ikutan apa?"
"Gue gak bocor."
"Ayolah, dikit saja..."
"Sok muna lo, lo tahu apaan," gue keluar ruangannya dan gue denger dia tertawa pelan.
Gue keluar ruangan, berusa kelihatan baru saja habis dimarahi karena melunjak, dan sepertinya mata-mata para pegawai percaya dan kembali ke pekerjaan mereka, kecuali tiga pasang mata. Mereka mau tahu apa yang terjadi di dalam ruangan itu, tanpa mereka ucapkan gue sudah tahu. Sampai di meja, benar saja, bubble group chat sudah muncul dari Payton menanyakan hal itu. Gue balas saja-sekalian alasan untuk gak ikut taruhan konyol mereka.
"Dimarahi bos gara-gara kata-kata gue tadi," itu memang benar, hanya kata 'dimarahi'-nya doang yang bohong. Gue lanjutkan, "sepertinya akan jadi impossible untuk gue ikut target kalian."
Kali ini Brenda yang jawab, "jangan alesan, Ana."
"Fine, you girls got me," gue berdiri sedikit supaya mereka bisa lihat gue dan nyengir.

Oh, by the way, sejak bulan sudah banyak berjalan, gue sudah bisa punya mobil. Gak baru, sih, second hand gitu, hanya masih mulus. Dapat great deal juga gue sama dealer-nya, walaupun bayarnya juga menyicil, ya, tapi begitulah maksudnya... Gue juga sudah pindah ke apartemen yang lumayan bagus, yang ada penjaga pintunya, dan resepsionis. Berkat tabungan dan gaji-gaji gue, gue bisa hidup gak sesusah kemarin-kemarin, mudah-mudahan yang sekarang bertahan, deh, gak temporary doang.

Semakin cepat hari berjalan, gue semakin dekat dengan orang-orang di kantor. Gak hanya Payton dan "minion"-nya, tapi semua pegawainya gue dekati dan ajak gue kenal lebih jauh gak hanya asal kenal. Beberapa dari mereka ada yang sudah puluhan tahun kerja, dan naik gaji, ada yang punya anak, ada yang berkeluarga, macam-macam. Gue juga sudah bertemu bos-bos yang lain selain Hunter. Kemajuan lainnya juga Payton dan minion gak membicarakan Hunter lagi, mereka sibuk melakukan target mereka. Payton memberi tenggat lima bulan, Brenda tujuh bulan, Hillary lima setengah bulan, dan gue Sembilan bulan. Peraturannya, kalau tenggat waktu kita menang kita akan dapet $200 dari setiap orang, totalnya $600, kalau mepet tapi gak ketika, $100 dari setiap orang, totalnya $300. Karena gak pasti siapa yang akan dipilih Hunter, jadi, ya, gitu, kalau kebetulan yang terpilih si pemenang tenggat ya menang, dan gak kehitung kalau misalnya yang dia pilih bukan salah satu dari kita berempat.

Hasil dari tenggat yang kita pasang pertama, gak ada yang menang. Jadi peraturannya diubah, boleh siapa saja yang penting tenggatnya ketika. Gue gak mengerti kenapa mereka mempermasalahkan hal ini banget, privasi orang, kok, diobok-obok. Di taruhan kedua, Payton pasang tenggat empat bulan dengan alasan gak mungkin bisa lama-lama gak melakukan, Brenda pasang lima bulan dengan alasan Si Bos itu gak ketebak, Hillary pasang tujuh bulan dengan alasan Si Bos bisa saja, sementara gue tiga bulan dengan alasan yang sama seperti Payton.
Sementara kita bertiga menunggu sampai ada pergerakan Si Bos, kita semua bekerja seperti orang normal lainnya. Pada suatu hari, gue harus pulang cepat karena dikabarkan Nyokap kalau Bokap gue sakit. Durhaka banget gue gak menjenguk dia gara-gara sibuk kerja. Nah, untuk melakukan itu, gue harus izin sama Hunter. Gue menyelesaikan setengah pekerjaan, merapikan meja, dan setelah itu baru minta izin.
Gue mengetuk pintu sekali dan langsung membuka, gak sadar kalau ternyata dia sedang mengganti kemeja. Hal yang pertama kali gue lihat adalah punggung dan bekas luka tiga garis di punggungnya, lukanya berbekas, ucap gue dalam hati.
"Eh, maaf," gue langsung balik badan berniat keluar.
"Tunggu saja, lima detik juga selesai." 1... 2... 3... 4... 5... "Sudah, lo boleh balik," gue balik badan dan dia sudah pakai kemejanya. "Kenapa?"
"Payton bilang, kalau gue mau pulang cepat, harus laporan ke lo."
"Kenapa pulang cepat?" dia duduk di kursinya.
"Ada sesuatu mendadak."
"Penting banget?"
"Ya."
"Ya sudah, sana."
"Kok gampang?" ucap gue bingung.
"Kenapa lo selalu saja nyari susah?"
"Pantes saja pada bilang lo baik."
"Kan gue memang baik, baru tahu lo..."
"Lo annoying, bukan baik."
"Mau ke mana, sih, lo memang?"
"Kepo banget."
"Gue, kan, bos lo, harus tahu dong kemana pegawainya pergi."
"Kalau kepo bilang saja, ya..." balas gue. "Gue mau bertemu orangtua gue."
"Gak bisa nanti?"
Gue membuang napas kesal. "Bokap gue dirawat."
"Oh, ya sudah, sana cepat, tiga jam perjalan, loh..."
"Kayak gue gak tahu..."
"Get well soon untuk bokap lo," gue mengangguk dan keluar ruangannya.
Sampai di luar, gue lihat kalau cubicle sudah pada kosong, sudah pada pergi makan siang. Pantas tadi Hunter dengan santai ganti baju diruangannya, dia kira gak akan ada yang mengganggu dia di jam makan siang. Selama gue kerja di sini, gue gak pernah lihat Hunter keluar makan siang, deh, memang dia gak laper apa? Atau mungkin dia membawa bekal, gitu? Kayak anak SD saja bawa bekal.

You, Me, and PrejudiceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang