Prolog

3.8K 275 24
                                    

Cari visual masing-masing, ya!

Ini emang sequel dari Unplanned Wedding, tapi bisa dibaca terpisah kok.

Kalau di cerita sebelumnya, visual mas Ibrahim Chou sebagai seorang papa adalah Suho-EXO dan mbak Sasa Aurabel sebagai seorang mama adalah Han So Hee.

Dalam cerita ini, mas Ibra dan mbak Sasa masih tampak muda walaupun usia tidak bisa dimanipulasi.

Ini adalah kisah dari anak-anak mereka, yaitu Mikayla Chou dan Eljuno Chou. Jangan lupakan tetangga tengil mereka, yaitu Christian William Andelion.

Tokoh lainnya akan dikenalkan seiring bergulirnya cerita.

***

Happy Reading ❤️

🌼🌼🌼

"Coba diperiksa lagi, ada yang ketinggalan nggak, Ka?" tanya Mama. Mama ada di kamarnya yang terletak di sebelah kamarku. Mama juga sedang packing.

"Udah semua kok," jawabku.

Tiba-tiba ada suara langkah kaki yang menaiki tangga. "Loh, mau kemana, Ka?"

"Abang!" seruku antusias.

"Liam," sapa Papa. Wajahnya biasa saja, mungkin karena sudah sering bertemu. Bagaimana tidak sering? Bahkan Bang Liam adalah tetangga seberang rumah kami sendiri.

"Om," sapanya balik, "enggak ada yang nyahut, jadi aku langsung masuk aja, Om," ringis Bang Liam.

Papa hanya tersenyum tipis, sangat tipis sekali. Kata mama, Papa adalah manusia yang minim ekspresi dan terkesan datar. Bukan tipe-tipe cool seperti di novel-novel, ya! Ekspresi Papa itu biasa-biasa saja, ingat itu!

"Hai, Liam!" sapa Mama yang keluar dari kamarnya untuk menuju ke kamar Juju.

"Hai, Tan!" balas Bang Liam.

"Jaket Juno di mana ya, Ma?" tanya Juju dari dalam kamarnya sana.

"Kok pada hectic gini, pada mau ke mana?" tanya Bang Liam yang tampak bingung. Dia belum mendekat ke kamarku, dia masih berdiri di ujung tangga.

"Healing dong!" jawab Mama—pamer.

Mama berlalu ke kamar Juju, sedangkan Bang Liam melangkah ke arah kamarku. "Pada mau ke mana, Ka?" tanya Bang Liam.

"Besok, mau antar Juju balik ke sana," jawabku. Senyum lebar masih menghiasi mimik wajah cantikku yang ceria ini.

Bang Liam melihat koper besar yang berisikan pakaianku. "Kok besar banget kopernya?" Wajahnya seakan menaruh kewaspadaan. Mungkin dia takut kalau aku tinggal, haha.

"Aku kan sekalian liburan, Bang," jawabku.

"Lama dong?"

Aku hanya mengedikkan bahu pertanda bahwa aku belum bisa menjawab pertanyaan-pertanyaannya karena papa membebaskanku untuk berlibur di sana sepuas hati, toh aku udah lulus kuliah dan nggak ada tanggungan apapun. Papa ataupun mama sama sekali nggak nuntut aku untuk cepat-cepat cari kerja. Papa bilang, nikmati masa mudamu!

"Bokap-nyokap?"

"Mereka nggak bisa lama-lama, mama akan ada projek film dalam waktu dekat dan papa as always sibuk sama pekerjaannya." Iya, mama adalah seorang novelis best seller yang karyanya sudah banyak difilmkan. Aku bangga banget punya mama seperti mama Sasa.

Bang Liam menghela nafas kasarnya.

"Sesekali, it's okay lah," kataku.

"Jangan lama-lama," ujarnya yang sudah mulai bete.

Tidak ada status yang lebih dari sekedar tetangga dan sahabat di antara kami. Namun, kebersamaan kami sejak kecil, itu yang membuat kami merasa saling memiliki. Tidak perlu mengucapkan kata-kata manis, kami sudah saling mengetahui perasaan kami masing-masing. Di mata orang lain, kami hanyalah sebatas tetangga dengan rumah yang saling berhadapan. Padahal lebih dari itu, kami saling merasakan bahwa perasaan yang sesungguhnya itu telah hinggap di hati kami masing-masing, entah sejak kapan itu. Tak jarang, ada sifat posesif yang saling kami tunjukkan untuk menunjukkan sisi perhatian kami masing-masing dan kami saling menghargai itu, tidak ada yang merasa keberatan akan itu semua.

Ku tekan kedua sisi pipinya sehingga mulutnya terlihat seperti bebek. "Jelek kalau bete gini," ledekku.

Kehadiran Papa yang tiba-tiba muncul di ambang pintu membuatku terkejut dan langsung ku tarik tangan nakal ini dari wajah Bang Liam. Pasti Papa sadar kalau anaknya ini sedang gelagapan.

"Udah semua, Ka?" tanya Papa.

"U-udah," jawabku gugup. Aku menyematkan senyum manis untuk menutupi kegugupan yang sedang ku rasakan. Rasanya seperti ketahuan sedang mojok oleh guru BK.

"Kalau ngobrol di luar aja, jangan di kamar!" tegur Papa. Papa tidak berbicara dengan nada mengancam, biasa saja, terkesan datar, tapi penuh arti.

"Siap, Om," balas Bang Liam. Dia terlihat biasa saja, apa mungkin dia berhasil menyembunyikan kegugupannya? Atau justru sama sekali tidak gugup? Karena Bang Liam memang akrab sekali dengan Papa.

Saat Papa hendak hengkang dari sini, Bang Liam justru menginterupsi langkah Papa. "Om," panggil Bang Liam.

"Hm?"

"Besok, aku aja yang antar ke bandara ya, Om?"

Papa tersenyum tipis, lalu mengangguk.

"Thanks, Om!"

"Hm."

🌼🌼🌼

Tebak, nasib Mika dan Liam bakal gimana kedepannya?

Jangan lupa vote biar aku semangat 👍

Unofficial LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang