Chapter 10

1.3K 130 20
                                    

Happy reading 😊

🌼🌼🌼


Terhitung sudah tiga hari lamanya telinga gue aman dari segala ocehan Mika. Iya, telinga gue aman, tapi hubungan kami yang enggak aman, dia diemin gue. Makanan Mika? Jelas itu urusan ahjumma, entah dengan cara diantar ke kamarnya atau bagaimana, gue enggak tau karena gue sering pergi pagi dan pulang ketika larut malam, jadi kami enggak sempat bertatap muka. Namun, di hari ke empat ini, gue penasaran dengan kehidupan Mika setelah kejadian beberapa hari yang lalu, jadi gue sengaja pulang lebih awal sore ini.

Setelah mendengarkan cerita dari ahjumma mengenai keseharian Mika ketika kami berdua sedang tidak akur belakangan ini, gue langsung memutar knop pintu kamar Mika yang benar saja tidak pernah dikunci, katanya sih untuk memudahkan ketika ahjumma hendak masuk untuk mengantarkan makanan kepada gadis itu.

"Kan tadi udah makan, Ahjum—" Mika menghentikan ucapannya tatkala kepalanya berputar sembilan puluh derajat untuk menengok si pembuka pintu kamarnya yang tadinya ia kira bahwa gue ini adalah ahjumma. "Get out!" sentaknya seketika.

"Ck!" Gue abaikan gertakan yang baru saja Mika lontarkan dan justru berjalan mendekat ke arahnya yang sedang duduk di meja rias sembari menggenggam ponselnya kuat-kuat karena ia sedang menahan amarah.

Mika mendongak dan menatap mata gue dengan tatapan yang nyalang. Di saat gadis itu lengah karena terlalu fokus menyalurkan kebenciannya lewat tatapan matanya yang tajam itu ke gue, terlintas ide di otak gue untuk memanfaatkan situasi.

Set!

Mika langsung berdiri dari duduknya. "Balikin ponsel gue!"

Gue angkat tinggi-tinggi benda berbentuk persegi panjang itu. Gue memang adiknya, usia gue pun dua tahun lebih muda dari Mika, tapi gue lebih tinggi dari si mungil satu ini.

"Juju!"

Gue mengernyitkan dahi sambil mendongak karena gue sedang menggulir seraya membaca pesan-pesan singkat yang saling mereka kirimkan. Yup, pesan singkat antara bang Liam dan Mika.

"Lo gila, Ka!" sentak gue setelah mengalihkan tatapan gue ke arah gadis di depan gue ini.

"Iya, gue gila, gue gila karena lo! Si tukang komentar dan sok ngatur. Ingat, lo itu adik gue, apa pantes lo ikut campur urusan orang yang lebih tua dari pada lo?"

Saat tangan Mika hendak merebut ponselnya dari genggaman gue, gue lebih dulu mencekal pergelangan tangannya dengan salah satu tangan gue yang masih kosong. "Ingat, Ka, lo itu dilahirkan dari rahim seorang muslimah. Sejak lahir, lo itu udah jadi seorang muslimah, apa seburuk ini pengetahuan lo tentang agama? Sia-sia papa cari tempat pendidikan yang terbaik buat lo, Ka, cuma buang-buang duit!"

"Ini urusan gue, bukan urusan kal—"

"Jelas ini urusan gue sama papa, Ka!" potong gue, "pikir sebelum bertindak!"

"Ini hidup gue, Ju," ujar Mika yang suaranya mulai meredup dengan diiringi air mata yang mulai mengalir membasahi pipi bak gadis yang sudah putus asa.

"Lo bisa bawa gue sama papa ke neraka, Ka!"

Mika tercenung sambil menahan isakannya, mungkin dia sempat melupakan ketentuan krusial itu.

"Papa dan gue ini wali lo, jangan sampai lo merencanakan hal gila dibelakang kami. Mau dia bang Liam atau pun pria lain, gue sama papa enggak bakal kasih restu kalau kalian enggak seiman," jelas gue dari hati ke hati—berharap Mika dapat memahami posisi gue dan papa dari segi hukum agama.

"Terus gue harus gimana, Ju?"

"Lo masih muda, Ka, lo enggak lagi di Indonesia, lo bisa cari pengalaman di sini, gue enggak pernah kekang lo untuk hal yang positif. Gue harap lo ngerti maksud gue."

Gue menarik Mika untuk masuk ke pelukan gue, gadis ini masih terisak pelan. Lalu, gue berbisik di telinga cantik itu, "Lo cantik, lo pintar, enggak ada pria yang bisa nolak lo, dan lo bisa dapatin apapun yang lo mau."

Gue kembalikan ponsel Mika di atas meja riasnya. Terakhir, gue kecup kening gadis itu sebelum pergi meninggalkan kamarnya.

***

Isi percakapan pada pesan singkat antara Mika dan bang Liam enggan bebas dari kepala gue, lama-lama gue ketularan mama si ratu overthinking, nih. Kalian penasaran apa isi pesan singkatnya? Intinya, ini berawal dari Mika yang setelah gue tegur tempo hari, dia langsung ngadu ke bang Liam dan malah ngajak bang Liam untuk merencanakan ide gila, yaitu menikah lintas agama secara diam-diam dengan cara mendaftar pernikahan mereka di negara yang melegalkan pernikahan lintas agama, bukankah itu merupakan hal gila? Beruntungnya, bang Liam belum memberi kepastian akan rencana gila tersebut, seandainya pun bang Liam mengiyakan, berarti akan ada perang pertetanggaan di negeri nan jauh di sana.

Usia gue udah dua puluh tiga tahun, tapi gue masih fine-fine aja tuh walaupun gue belum pernah pacaran. Lantas, kenapa Mika kayaknya haus akan belaian banget, ya? Apa semua cewek yang udah menginjak usia dua puluh lima tahun tuh bakalan kayak gitu? Enggak juga deh kayaknya, buktinya mama enggak seperti itu. Kata papa, justru mama itu kayak ogah-ogahan gitu waktu diajak nikah sama papa, apa karena mama memang lebih berkelas dari pada Mika? Tapi, Mika kan anaknya mama, siapa lagi yang diturun kalau bukan orang tuanya? Ah, entahlah, gue jadi bingung sendiri mikirin teori konspirasi antara sifat mama dan sifat Mika yang berbeda jauh. Perlu diingat, berbeda jauh yang gue maksud adalah berbeda jauh dalam ranah keinginan menikah, kalau keras kepalanya itu sama saja—kata papa.

🌼🌼🌼

Besok lagi ....

Jangan lupa vote agar aku tambah semangat ❤️

Unofficial LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang