🌼||Happy Reading||🌼
°
°
°Lahir sebagai keluarga Shaquille bukanlah anugerah. Di saat seluruh anggota keluargamu gila perang dan setiap hari hanya mengobrol perihal pertarungan. Ditambah, kau satu-satunya perempuan di kumpulan pria otak otot tersebut. Bisa dipastikan, kalau kau akan gila.
Tenanglah, aku tidak menceritakan cerita tentangmu. Tapi, ini adalah ceritaku, anak keempat dari keluarga Shaquille serta putri satu-satunya di sana. Perkenalkan, namaku adalah Nafaline Shaquille.
Dan cerita ini dimulai saat kedua kakak serta ayahku kembali dari medan perang. Aku sebagai anggota keluarga yang baik dan benar, tentunya harus menyambut di depan gerbang.
Ditemani oleh kembaranku, Matthew.
Sialnya, berkat alasan karena dia lahir lima menit lebih awal, Matt --begitu aku memanggilnya-- mengklaim kedudukan putra ketiga. Melengserkan aku jauh menjadi anak terakhir di keluarga gila ini.
"Selamat datang di rumah, Ayah dan Kakak sekalian," sapaku dan Matt bersamaan.
Meskipun aku tak menyukai Matt, mau bagaimanapun dia adalah saudara kandungku. Ditambah, status sosial keluarga Shaquille yang tinggi membuatku harus menghafal dan menerapkan etika.
Jika menuruti perkataan hati, aku sudah pasti memilih rebahan di ranjang seharian penuh.
"Ya ampun. Lihat betapa manisnya kedua adik kalian ini!" Seorang pria turun dari kuda putihnya. Wajahnya begitu garang, ditambah beberapa luka sayat di wajahnya, pria berjenggot itu disegani oleh lawan ataupun kawan.
Namun, ekspresinya akan terlihat berbeda jika menyangkut dengan anak-anaknya. Lihat saja sekarang, wajah garang itu tersenyum simpul sembari memeluk anaknya dengan erat. Seolah lupa otot-otot yang terlatih itu memiliki kekuatan melebihi pelukan orang biasa.
Aku bisa merasakan isi perutku akan keluar!
"A ... Ayah...." Aku mencoba menggerakkan tangan, tapi nihil. Tubuhku yang memang sudah lemah sejak awal memang bukan tandingannya.
Masa aku akan mati hanya karena dipeluk, sih? Konyol!
"Hentikan, Yah. Kami juga ingin memeluk mereka," cegah seorang pria cantik dengan nada lembut. Kusebut cantik karena bulu mata yang lentik dan rambutnya yang tergerai panjang menutupi punggungnya. Dari belakang pun tidak heran jika ada yang mengiranya seorang gadis muda.
Dia adalah sang kakak sulung, Arthur Shaquille.
Ayah pun melepas pelukannya. Sejenak, aku bisa merasakan betapa nikmatnya bisa bernapas. Aku dengan cepat menarik oksigen masuk ke dalam paru-paru. Sembari menenangkan jantung yang meronta cepat karena pasokan oksigen yang menipis.
Pemuda cantik tadi melangkah mendekat. Memeluk aku dan Matt dengan pelukan manusiawi. Syukurlah dia tidak segila ayahnya.
Meskipun begitu, Arthur tetap manusia yang aneh. Jika putra sulung biasanya melakukan segala hal agar posisi kepala keluarga tetap di tangannya, Arthur tidak melakukan hal itu. Dia bahkan secara sukarela memberikan posisinya. Lelaki tanpa ambisi, mungkin itulah sebutannya. Arthur juga lebih sering berinteraksi dengan binatang peliharaannya. Sebab itulah dia masih melajang walau umurnya nyaris menyentuh angka tiga puluh.
"Aku tidak butuh istri. Yang kubutuhkan hanya anak-anakku dan kalian." Begitulah komentarnya yang menyebut hewan peliharaan sebagai anaknya.
Kenapa Ayah tidak mempermasalahkan hal itu? Entah, orang waras mana paham pemikiran orang gila. Aku terlalu sibuk untuk menanyakan hal itu. Alias, tidak penting bagiku.
Pelukan terurai, kini beralih pada pemuda di sebelah Arthur. Memakai zirah bewarna emas dengan dua senjata pedang di balik jubahnya. Terlihat amat perkasa dan berwibawa. Berbanding terbalik dengan Arthur yang memberi aura keanggunan. Pria ini lebih membawa aura intimidasi. Dia adalah putra kedua, Charles Shaquille.
"Kau nampak kurus, Bocah. Ke mana otot-otot yang kulatih lima bulan yang lalu?" selidiknya setelah memberikan pelukan singkat. Wajahnya mengkerut heran bercampur kesal.
Aku menghindari pandang. Mana mungkin aku jujur kalau selama dia pergi aku membolos latihan. Mereka berangkat perang adalah waktu damaiku. Beban stresku berkurang saat tidak ada Charles di rumah.
Ya, kakak keduaku itu yang paling keras di rumah ini. Karena otaknya hanya dipenuhi oleh otot, dia sering memaksakan latihan pada adik-adiknya. Tidak memandang usia dan jenis kelamin. Kesatria Shaquille juga mendapat dampaknya. Makanya, tidak ada yang berperut buncit di rumah ini.
"Tunggu, kurus? Siapa yang berani membiarkan putra putriku kelaparan ketika aku tidak ada di rumah? Mengakulah sebelum aku memenggal kepala semua orang!"
Semua orang tersentak kaget. Wajah mereka kompak memucat dan berkeringat gugup. Ayahku memasang wajah dingin dan pelototan kepada pelayan yang ada di belakang kami. Astaga, padahal bukan itu yang dimaksud Charles!
"Bu-bukan begitu, Ayah!" Aku menyela sebelum beliau benar-benar melakukan pemenggalan. "A-aku hanya sedang diet. Iya, benar begitu. Aku diet demi menjaga penampilanku. Jadi, ini bukan salah mereka."
"Diet?" Ayah menatapku heran disusul dengan ketiga kakak gilaku. Bersama menatapku meminta penjelasan.
"I-iya! Soalnya kudengar diet sedang tren di kalangan para Lady. Ja-jadi aku mengurangi pola makanku untuk tubuh yang sempurna!" jawabku asal. Semoga saja mereka percaya.
"Tubuh sempurna itu kalau ditempa dengan latihan fisik. Bukan dengan mengurangi pola makan. Kalau kau merasa gemuk, tinggal olahraga saja. Daripada seperti sekarang, kau seperti tulang hidup." Charles menanggapi dengan sinis.
"Tuan Charles, tubuh sempurna bagi seorang Lady itu adalah pinggang yang ramping dan buah dada yang besar. Bukan otot! Tidak ada pria yang menyukai Lady yang berotot."
Sindiranku malah semakin membuat Charles kesal. Informasi tambahan, kakak keduaku itu tidak suka dibantah. Apalagi jika status pembantah ada di bawahnya. Calon-calon penguasa diktator.
"Heh. Berotot atau tidak, aku tak yakin ada pria yang menyukaimu."
Aku mendelik pada Matt yang lebih dulu menyela. Senyuman miring yang selalu dia lontarkan padaku sukses membuatku geram. Entah mengapa, kembaranku itu selalu jahil dan suka mengadu.
"Dia sengaja membolos latihan, Kak Charles." Tuh, kan! Baru saja kubilang!
Charles melirik tajam ke arahku. "Sudah kuduga. Baiklah kalau begitu. Karena aku sudah pulang, aku akan menambah waktu latihanmu."
Matt tersenyum menang, sebelum Charles kembali berucap. "Ah, nggak. Bukan hanya kau, tapi semuanya. Sepertinya kesatria di sini juga pada bolos latihan. Kau juga Matthew. Sebagai lelaki, seharusnya kau jauh lebih kuat daripada ini!"
"Cih! Tunggu saja, aku pasti segera menyusulmu, Kak Charles!" Matt terpancing. Dia dan Charles saling memamerkan kekuatan. Mereka berkompetisi pada hal yang sama sekali tidak kumengerti.
Arthur, yang mungkin terlihat lembut pun sebenarnya juga gila otot. "Latihan? Bagus itu. Nanti aku ajak anak-anakku sekalian. Agar mereka lebih kuat menghadapi perang selanjutnya."
Sedangkan Ayah, ah, sudah jangan ditanyakan lagi.
"Langsung saja latihan sekarang. Tidak ada gunanya menunda lagi, ya, kan?"
Sial. Aku tidak bisa merayakan hal ini. Neraka sesungguhnya dimulai ketika seluruh pria keluarga Shaquille berkumpul. Hari-hari tenangku hilang. Yang kulihat di masa depan hanyalah wajah tampan dengan isi kepala yang sengklek. Kehidupan yang sungguh memprihatikan.
***
Gimana pembukanya? Mau lanjut? Apa cukup di sini saja?
🌼|| To be Continued || 🌼
Traitor's Princess
© Nafa Azizah
KAMU SEDANG MEMBACA
Traitor's Princess [HIATUS]
Fantasy[Kemungkinan cerita dihapus atau rombak revisi] Shaquille adalah keluarga yang paling dekat dengan keluarga kekaisaran. Mereka juga terkenal akan gila perang. Mulai dari yang tua hingga yang muda, semua diterjunkan ke medan pertempuran. Bahkan satu...