34. Deep Talk

1K 210 24
                                    

Author POV

Pulang, Al. Papi menyuruh kamu pergi bukan untuk berlarut seperti ini. Ini sudah lebih dari seminggu kamu nggak pulang. Papi minta maaf, Mami juga. Kami semua minta maaf. Ayo kita bicara lagi. Pulang, ya? Kalau bukan karena papi, cobalah pulang demi Mami. Kasihan Mami. Pulang ya, sebelum papi paksa kamu buat kembali ke rumah ini lagi.

Pesan singkat dari papinya kemarin terus menghantuinya. Hal itu juga yang menjadi salah satu alasannya mempunyai ide untuk mencari pekerjaan. Ia takut papinya melakukan sesuatu untuk memaksanya pulang dan ia sama sekali tidak punya pegangan selain uang simpanannya yang diambil dari kamarnya melalui perantara Reyhan beberapa hari lalu.

Tolong mengerti, Ali benar-benar tidak ingin pulang untuk saat ini. Pesan singkat itu membuatnya semakin sulit tidur sehingga tiap malam harus menaikkan dosis obat tidurnya.

"Hari ini udah makan berapa kali?"

Pertanyaan Prilly menarik Ali dari lamunan. Masih di dapur, sepasang manusia itu saling membelakangi. Perempuan itu sedang mencuci sayuran untuk disimpan di kotak kontainer sedangkan Ali melanjutkan pekerjaan Prilly sebelumnya— me-refill rempah bubuk di meja bar. Mereka habis grocery shoping hari ini.

"Pagi, siang, kan?" tanya Ali balik untuk meyakinkan Prilly tanpa berbalik badan.

Mendengar jawaban tak meyakinkan itu, Prilly menoleh ke belakang, mendapati Ali tengah memijat pelipis kiri dengan pergelangan tangan kirinya.

"Kenapa kepalanya?" Ali langsung menurunkan tangannya, tanpa berbalik seraya mengatakan kalau kepalanya baik-baik saja. Prilly mendekat, membawa semua sayuran yang sudah dicuci ke meja bar.

"Jadi tadi siang ketemu siapa?" tanya Prilly mengubah topik.

"Bang Tomi, abangnya Mara," jawab Ali. Prilly diam menunggu si empunya melanjutkan. Menyusun semua sayuran dan mengepaknya dalam beberapa kotak kontainer untuk persediaan di dalam kulkas. Perempuan itu melirik Ali sesaat yang banyak menyimpan sendiri pikirannya sejak hari itu sehingga apa-apanya menjadi lebih sulit ditebak.

"Dia produser musik di salah satu label musik di Jakarta. Tapi hidden. Musiknya udah sampai ke banyak telinga. Banyak musisi yang mau kerjasama sama dia," lanjut Ali.

"Ya, terus?" tagih Prilly karena Ali menggantungkan ucapannya. Tidak ada aba-aba apapun sebelumnya, tiba-tiba Ali menyinggung soal kakak Mara yang bekerja sebagai produser musik itu.

"Aku khawatir karena mau libur."

Prilly mengernyit semakin bingung. Dari pembicaraan soal produser musik, lalu menyambung ke persoalan kekhawatiran libur semester. Ali tidak pernah seperti ini sebelumnya. Hal itu membuat Prilly  cukup terkejut. Prilly tahu Ali sedang mempunyai banyak masalah, tapi ia ingin Ali seperti biasanya, menyambut libur semester dengan suka cita, setidaknya untuk healing, bukan dengan kekhawatiran seperti ini.

"Khawatir kenapa?" tanya Prilly pelan.

Sulit sekali kelihatannya sekedar menjawab. Dari sedekat ini bahkan ia masih bisa melihat Ali berubah gelisah. Awalnya memang terlihat tengah memikirkan jawaban atas pertanyaannya, tapi lama kelamaan malah larut begitu saja dalam lamunan. Ia sepertinya tidak akan bangun dari lamunan itu kalau tidak mendapat teguran.

"Li, apa-apaan sih?" Prilly menegurnya dengan sedikit berseru. Kesal, ingin marah, tapi lebih menang rasa khawatirnya. "Fokusnya kemana-mana. Aku lagi nanya."

Saat ditegur, dirinya akan terkesiap hebat. Seperti baru dihadiahi jump scare.

"Maaf... bukan—maksudnya aku...." Ia diam lagi untuk menarik napas, "Maaf...."

Powerpoint in Love 2 (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang