BAB 37 Sisi Gelap Ravi

78 17 24
                                    

Guys....

follow dong IG aku @coretan.njie

~Happy reading~

Ravi

"SIALAN!" umpatku kasar dengan napas memburu. Membuang jaketku ke sembarang arah lalu duduk bersandar pada sofa yang ada di ruang tamu rumahku. Belum selesai dengan satu masalah, sekarang masalah baru justru datang meradang membuatku geram.

Aku menggepalkan kedua tanganku kuat. Sorot mataku menyala dengan rahang tegas menunjukkan puncak amarah dari dalam diriku. Aku bersumpah! Aku tidak akan membiarkan siapapun yang berani menyakiti Rania lolos begitu saja dari hidupku.

"Datang ke rumah gue sekarang!" perintahku, kemudian memutus sambungan telepon secara sepihak. Tak peduli dengan waktu yang masih menunjukkan pukul empat pagi.

Aku mengusap wajah frustasi. Sejak tadi pikiranku tak henti memikirkan Rania. Lelehan air mata itu adalah bukti bahwa aku telah menghancurkan kebahagiannya. Dan lagi, aku tidak bisa berbuat apa-apa untuk melindunginya. Ya, aku memang pengecut! Aku pecundang! Aku tidak pantas berjuang untuknya. Sebab aku sendiri telah kalah oleh keadaan. Merelakan segala kerumitan, rasa bimbang dan keraguan menguasai diriku. Sekali lagi aku tekankan, aku kalah!

Aku sendiri bahkan tidak tahu apakah keputusanku untuk bertunangan dengan Pipit adalah sesuatu yang benar atau tidak. Waktu berjalan begitu cepat seolah tak memberiku jeda untuk berpikir dengan akal. Semua hal yang aku lakukan selalu berdasarkan emosional tanpa mempedulikan kepentinganku sendiri.

Namun, aku terlalu naif jika tidak ingin bersikap egois. Tujuanku adalah Rania, dan kebahagianku ada padanya. Lalu, di mana letak kesalahanku saat aku berucap masih menyayanginya?

"Ran, jangan tinggalin aku, aku butuh kamu Rania. Aku nggak mau kehilangan kamu lagi...."

Plak!

Aku yang kaget seketika bangun, meraba pipiku yang terasa panas dengan tingkat kesadaran minim. Sialan! Mimpi buruk. Lalu, siapa tadi yang berani menamparku?

"SAKIT BEGO!" erangku meringis kesakitan.

"BODO AMAT!"

Aku mendesis, melempar tatapan tajam pada lelaki tidak waras yang tengah duduk di depanku dengan wajah datar.

"Kacau banget hidup lo," sindir Dion memandangku prihatin. "Jadi, siapa dalang dibalik penculikan Rania semalam?"

Aku menggeleng. Tidak tahu harus menjawab apa, karena dugaanku belum kuat untuk menjadikan seseorang di dalam pikiranku sebagai tersangka.

"Kita tunggu Tasya datang. Mungkin dia lebih tau siapa kemungkinan orang yang berani mencelakai Rania." timpalku resah.

Dion menyodorkan nasi kotak yang dia bawa di depanku, "Makan dulu, gue tau sejak tadi malam lo belum makan. Lo adalah calon mempelai laki-laki terburuk yang pernah gue temui dalam sejarah." ucapnya terkekeh pelan.

"Thanks," balasku singkat lalu melahap nasi kotak itu tanpa selera.

Setelah menyelesaikan sarapan. Aku bergegas mandi dan berganti pakaian. Meninggalkan Dion sendirian di ruang tamu sembari menunggu kedatangan Tasya yang hendak datang ke rumah untuk membahas kejadian yang menimpa Rania.

Nyatanya, siraman air dingin yang mengguyur tubuhku tak jua memberiku semangat. Pikiranku masih kacau oleh rasa gelisah yang aku alami.

"Sya, udah lama datengnya? Maaf ya, jadi ngerepotin kalian." sapaku tersenyum hangat. Menyambut kedatangan Tasya dan Andra yang sudah bergabung di ruang tamu. "Kenalin, ini Di-"

Baby, Please Be Mine! (Completed!)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang