11 - Bad Night

19 9 1
                                    

Assalamu'alaikum Wr Wb teman-teman pembaca semua! 

Welcome di Part 11 ISD!

Terimaksih sudah mampir dan masih setia dengan cerita ini. 

Yuk bantu aku dengan maramaikan kolom komentar di setiap paragraf dan meng-klik tombol VOTE GRATIS di akhir halman setelah membaca part ini. 

Sudah siap?

Happy reading! 

***

Dengan senyum merekah, Nana berlari tak sabar menuju ruang rawat ayahnya. Ketika berada di angkot tadi, Nana sempat mendapat teks pesan dari suster Dina bahwa ayahnya sudah dapat membuka mata.

Tepat sang suster dengan beberapa benda di tangannya itu keluar, nampaklah gadis mungil dengan seragam khas anak SMA tengah mengatur napasnya di depan pintu. 

Wanita muda yang malam itu sangat Nana benci karena memisahkan dirinya dengan sang ayah, kini melemparkan senyumnya lantas mempersilakan Nana untuk masuk.

Nana masuk dengan setengah berlari. Begitu melihat garis wajah kesayangannya tengah menatap lurus, Nana langsung menghamburkan pelukannya, membuat laki-laki tua yang tengah terbaring itu sedikit terkejut.

"Ayah...."

Perlahan, sebelah tangan berselang infus itu terangkat membalas pelukan Nana. Mengelus surai hitam itu penuh kasih sayang.

"Akhirnya Ayah bangun juga. Nana kangen banget sama Ayah. Nana takut kehilangan Ayah, kalau Ayah pergi Nana sama siapa di dunia ini?" racau Nana, ia mengutarakan semua isi hatinya tanpa melepas pelukannya.

Tak terasa sebulir genangan di pelupuk matanya terjatuh membasahi baju pasien sang ayah.

"Ayah kok tidur lama banget, sih? Ayah nggak kasihan sama Nana? Nana kesepian tau," aduhnya manja.

Laki-laki itu tersenyum tipis, lantas mengarahkan wajah Nana menghadapnya. Ia juga sangat rindu menatap wajah cantik putrinya ini. 

Hirawan tersenyum tulus sambil berusaha menghapus jejak air mata di pipi Nana.

"Anak Ayah cerewetnya."

Kepala Nana menggeleng lantas menggenggam jemari sang ayah yang masih menempel di wajahnya.

"Janji sama Nana, Ayah nggak boleh tutup mata selama itu lagi. Janji?" 

Nana mengacungkan kelingkingnya dan dibalas oleh Hirawan.

"Janji," balasnya rentan.

Detik selanjutnya Nana mendudukkan tubuhnya di kursi lantas bergelayut manja di lengan Hirawan. 

Bagai bumi yang tandus, ia pasti merindukan rintiknya. Sungguh, Nana juga sangat merindukan suara ini. Pelukan hangat ini dan kebahagiaan melihat malaikatnya kembali dalam hidupnya.

Mendengar isakan kecil dari gadis di sampingnya, Hirawan menginteruksi agar Nana mengangkat wajahnya.

"Anak Ayah kenapa ini? Kok malah nangis?"

"Nana sedih lihat Ayah sakit," ucapnya sendu.

"Sekarang kan Ayah sudah sembuh. Jadi, putri Ayah juga harus senyum dong. Karena senyum ..."

"Adalah awal dari sebuah kebahagiaan," sahut Nana menyamai Hirawan, gadis itu sangat hafal dengan kata-kata ayahnya satu ini.

"Pintar."

In Seventy DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang