13 - Kejujuran

31 8 2
                                    

Assalamu'alaikum Wr Wb temen-temen semua!

Welcome di part 13!

Terimakasih sudah mau membaca cerita ini. Jangan lupa bantu aku dengan meramaikan kolom komentar disetiap paragraf dan klik tombol VOTE di akhir halaman ya. Tandai typo juga jika berkenan, hhe terimakasih.

Happy reading!

***

"Apa-apaan ini, Jian?"

Laki-laki tua berkepala plontos itu melempar sebuah surat ke meja bundar di hadapannya. Kepalanya yang terasa pusing itu membuatnya melepas kacamata dan menyandarkan punggungnya ke sofa ruang keluarga.

Haocun Feng, atau yang akrab dipanggil Engkoh Feng itu menatap Jian lekat-lekat. Yang di tatap justru menunduk, tak berani menatap wajah kecewa sang Papa.

"Maaf, Pa."

Feng menggeleng kecewa menatap surat panggilan di meja itu.

"Bolos sampai enam belas kali dalam satu bulan. Sebenarnya ada apa sama kamu?" tanyanya, suara itu terdengar sangat berat.

Jian masih menunduk. 

"Jian nggak berniat untuk bolos, Pa. Jian terpaksa."

Jawaban dari putra satu-satunya itu membuat Feng menghela lelah.

"Karena teman-teman kamu lagi?"

Jian mengangguk ragu.

Feng menarik punggungnya, ia duduk lebih tegas sekarang.

"Jian Feng, lihat Papa," perintahnya yang langsung dituruti oleh Jian.

"Kamu itu laki-laki, kenapa musti takut?"

Jian terdiam beberapa detik, namun tatapan Feng mendesak memintanya menjawab dengan jujur sekarang.

Perlahan Jian menoleh, tatapannya tertuju pada sebuah foto anak laki-laki berseragam SMP yang terpajang di dinding sebelah foto keluarga.

Tak perlu mendengar langsung dari Jian, dari tatapan dan ekspresi itu Feng tahu alasan Jian menjadi penakut dalam bersosialisasi sampai saat ini.

"Apa yang terjadi dengan kakak kamu tidak akan terjadi juga sama kamu kalau kamu berani, Jian," ucap Feng melembut.

"Tapi, dulu Koh Juan jago berantem. Kenapa dia malah ninggalin kita lebih dulu, Pa?" ujar Jian mengungkapkan opininya selama ini.

Hatinya ikut sakit mengenang masa dimana ia dan keluarganya harus kehilangan kakaknya.

"Itu karena lingkungan bergaulnya. Makanya Papa selalu bilang supaya kamu mencari teman-teman yang sehat."

"Teman-teman Jian selalu sehat, Pa," balas Jian dengan polosnya.

"Maksud Papa anak-anak yang baik, Jian," perjelas Feng.

Jian meringis mendengarnya. Feng semakin dibuat geleng-geleng oleh putranya ini.

Tak ingin semakin terlarut dalam kenangan pahit masa lalu, Feng menghela pelan.

In Seventy DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang