Seven - How Much?

8.4K 475 11
                                    

SUDAH TAMAT DAN TERSEDIA DI APLIKASI KARYAKARSA DENGAN NAMA AKUN @AYUTARIGAN. BISA JUGA BELI PDF-NYA LANGSUNG KE AKU ATAU EBOOKNYA DI GPLAYBOOK.

TERIMA KASIH.


ENJOY!



Diva menggerutu saat mobil wanita itu tak kunjung menyala meski sudah berkali-kali dicoba. Wanita itu melirik jam tangannya dan baru menyadari bahwa ia sudah menunggu setengah jam di sana. Diva ingin menghubungi bengkel langganan sang papa, tapi ia sadar ini terlalu jauh dari lokasi mereka. Sialnya ia benar-benar tidak tahu menahu soal daerah ini yang memang lumayan sepi.

Wanita itu teringat dengan keberadaan Destra dan hendak menelpon pria itu untuk meminta bantuan. Namun belum sempat ia mendial nomor temannya itu, suara sebuah klakson mobil terdengar sangat dekat dengan dirinya.

Diva sontak menoleh dan mendapati sebuah mobil BMW hitam keluaran terbaru berhenti di belakangnya. Suara klakson kembali terdengar hingga membuat wanita itu menyipit tajam. Sumpah mati Diva merasa tidak sedang menghalangi jalan mobil tersebut. Jadi, atas dasar apa orang itu meributkan diri dengan suara klaksonnya yang sangat berisik?

Kaca di bagian supir terbuka dan wanita itu sontak ternganga karena ia dapat melihat siapa yang duduk di kursi penumpang di dalam sana. Jelas saja, sebuah ide cemerlang kembali terlintas di otaknya.

"Apa yang anda lakukan di sini?" tanya sang supir yang tak lain adalah pria yang sama dengan bodyguard waktu itu.

Diva berdehem pelan sebelum berjalan mendekat ke arah pintu mobil Abas. "Mobilku mogok, bisakah anda memberiku tumpangan untuk pulang?" tanya wanita itu manis.

Tak ada jawaban dari pria yang merangkap sebagai supir itu karena ia tengah melirik sang bos yang sibuk dengan tabletnya dan tak menghiraukan pertanyaan Diva.

"Tidak bisa, kita tidak searah," ujar sang bodyguard akhirnya.

"Ah, benarkah?" tanya Diva dengan raut kecewa yang dibuat senyata-nyatanya. "Kalau begitu aku mungkin akan berjalan kaki saja mencari angkutan umum," imbuhnya dengan nada amat sangat kecewa.

Pria itu mengangguk dan hendak menutup kaca mobil. Tapi Diva tidak akan membiarkan hal itu begitu saja karena dirinya belum mengeluarkan semua tipu muslihat yang akan ia kerahkan untuk menjinakkan pria tak berperasaan di belakang supir itu.

"Aduuh, kakiku sakit sekali. Tapi harus berjalan jauh mencari angkutan umum," keluhnya seorang diri dengan mimik sedih yang jelas dibuat-buat. Tak sampai di situ saja, wanita itupun berjalan dengan terseok-seok mendahului mobil miliksang duda agar pria kaku itu bisa melihat dengan jelas betapa menyedihkannya Diva saat ini.

Namun sialnya bagi wanita yang terancam menjadi gelandangan karena ulahnya sendiri itu, kakinya malah terserempet sepeda motor yang dikendarai oleh seorang pemuda yang ugal-ugalan.

"Hei ... Bocah sialan!" pekik Diva yang kini jatuh terduduk di atas tanah yang lembab di pinggir jalan.

"Astaga!" geram wanita itu yang berusaha untuk bangkit berdiri. Bertepatan dengan itu beberapa orang menghampirinya dan menawarkan bantuan, termasuk Destra yang lagi-lagi merasa terkejut dengan kondisi Diva saat ini.

"Lo nggak apa-apa?" tanya pria itu sembari menarik lengan Diva.

"Nggak apa-apa mata Lo! Lihat nih kaki gue lecet," desis Diva di telinga pria itu.

Sumpah mati Destra tidak merasa kasian sama sekali karena jujur saja sejak tadi ia sudah menyaksikan tingkah menggelikan Diva untuk menggoda Abas. Sayangnya wanita itu tidak berhasil dan malah mencelakai dirinya sendiri.

"Mbak tidak apa-apa? Perlu ke puskesmas?" tanya seorang wanita paruh baya yang ikut membantu Diva.

"Ah, terima kasih banyak, Bu. Tapi saya nggak apa-apa kok," sahut Diva mengangguk pelan.

"Ayo anter gue pulang!" bisiknya penuh perintah pada Destra yang mengangguk patuh.

Tapi nyatanya suara klakson mobil lagi-lagi membuat Diva harus menoleh ke belakang yang mana mobil Abas kembali berhenti di hadapannya.

Kaca mobil terbuka dan kali ini Abas lah pelakunya.

"Masuk," ucapnya datar.

Diva sampai ternganga tak percaya mendengar perintah pria itu. Sungguh, ia tak berharap lagi pria itu mau memberinya tumpangan karena sumpah mati ia sudah merasa cukup dengan sakit di lutut dan kaki, tak perlu lagi ditambah sakit hati jika kembali ditolak pria duda itu.

"Cepat! Sebelum aku berubah pikiran," tegur Abas lagi yang jengkel melihat kediaman Diva.

Ah, tapi sayangnya Diva tidak akan langsung menuruti pria itu. Ia ingin sedikit mengembalikan harga dirinya di hadapan sang duda.

"Ah, terima kasih, Pak. Tapi saya tidak ingin merepotkan Anda," ujarnya dengan tampang melas yang tentu saja dibuat-buat.

Abas yang mendengar hal itu mendengkus jengkel seraya melirik lengan wanita itu yang diapit oleh Destra.

Diva kira Abas akan sedikit memaksa atau paling tidak bertanya sekali lagi, sayangnya pria itu langsung menutup kaca dan tak mempedulikan Diva yang kini mendelik kaget bercampur kesal karena pria tidak punya hati itu.

"Hei, tunggu dulu!" Diva cepat-cepat melepas tangan Destra dan berjalan susah payah menuju pintu mobil Abas.

"Serius nggak jadi gue anterin, Div?" tanya Destra dengan satu alis terangkat. Jujur saja dia merasa salut dengan perjuangan wanita itu. Andai Diva melakukan hal itu karena rasa cinta, mungkin Destra akan ikut menaruh hati melihat kegigihan wanita itu memperjuangkan perasaannya.

"Ya enggaklah, Bungkus Belacan! Pake tanya lagi Lo," gerutu Diva sebelum membuka pintu mobil Abas.

"Udah ya, gue balik. Bye!"

Destra hanya mengangguk melihat punggung wanita itu menghilang di balik pintu dan mobil segera melaju meninggalkan tempat itu.

Sementara di dalam mobil, Diva sibuk mencuri-curi pandang pada Abas yang masih sibuk dengan tab di tangannya.

"Sudah setua ini kenapa anda masih sibuk bekerja? Bukannya ada Dewa sebagai penerus perusahaan?" tanya wanita itu spontan dengan mulutnya yang selalu saja tak terkontrol.

Abas melirik wanita itu dengan tajam membuat nyali wanita itu sedikit menciut. Ia takut Abas merasa jengah dan melemparkannya ke jurang-jurang yang akan mereka lewati.

"Jangan terlalu sering marah, nanti keriput anda bertambah banyak," nasihat wanita itu kalem tanpa rasa bersalah.

Mungkin saja memang Diva harus membawa lem untuk mulutnya supaya tak seenaknya lagi berbicara.

Abas menghela napas dan meletakan tab-nya. "Katakan berapa yang kamu mau?" tanya pria itu tiba-tiba.

Diva menoleh kaget. "Ha? Apa?" tanyanya balik keheranan.

"Aku tahu tujuanmu mendekatiku. Uang 'kan? Jadi berapa banyak?" tanya pria itu sekali lagi. "Aku akan memberikannya dan kamu bisa langsung pergi," imbuhnya tajam.

Entah mengapa kalimat yang kali ini Abas lontarkan seolah menusuk ke dalam jantung Diva. Ia tiba-tiba merasa sakit dan rongga udara di parunya seolah menyempit hingga wanita itu merasa sesak di dada.

Padahal yang dikatakan pria itu tidak ada yang salah. Bukannya Diva mendekati Abas memang karena uang? Karena ia takut menjadi gelandangan setelah diusir sang papa karena kebiasaan buruknya.

Lalu, kenapa Diva merasa marah dan kesal dengan kalimat pria itu?





TO BE CONTINUED

Terjerat DudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang