"Eungh.. "Arin memegang dahinya. Ada kain yang sudah mengering disana. Ia memindahkannya ke pinggir dan duduk. Kepalanya sudah tak panas dan tak terlalu pusing. Tapi sahabatnya masih mengerang kesakitan di sebelah nya.
Ia mengecek kompresan Haruto dan memang sudah kering tapi dahinya masih panas. Dengan hati hati Arin mengganti kompresan nya dengan yang basah dan kembali ke tempatnya. Arin menidurkan dirinya di sebelah sahabatnya, tangan kirinya ia gunakan untuk mengusap kepala lelaki itu dan tangan kanannya untuk mengusap lengan hangat itu.
"Gua tau lu ada masalah.. Kenapa coba nahan sendirian.. "
Lelaki itu membuka matanya. Memang sedaritadi Haruto sudah bangun dari pingsannya, hanya saja belum bisa tidur hanya berusaha tidur. Dapat ia rasakan kepalanya di elus oleh tangan sahabatnya.
"Cepet sembuh ruto, kalau lu lagi sedih gua bakalan hibur lu sampe lu ceria lagi. "
"Rin lu sayang gua? "
Arin terkejut mendengar suara beratnya. Perempuan itu langsung duduk dan berhenti memeluk Haruto.
"Bentar dulu. Kalau lu udah bangun mending lu minum obat dulu. " Arin turun dari kasurnya dan keluar dari kamar. Lalu kembali dengan bubur dan obat di tangan.
"Katanya minum obat aja. "
"Diem. Lu belum makan apa apa hari ini. " Arin membantu Haruto duduk agar mudah menyuapi nya.
"Arin mau sama kamu aja? " Tanya mamahnya Haruto dari pintu.
"Iya mah, ruto sama Arin aja. " Jawabnya tersenyum.
"Kalau ruto gamau makan panggil mamah ya. " Mamahnya masuk sebentar untuk mengusap kepala anaknya dan mengecek suhu tubuhnya.
"Siap mah. " Kembali mereka berdua di dalm kamar. Arin langsung menyuapi Haruto setelah memberinya minum.
"Ga kerasa apa apa. "
"Yah untung ga pait. Biasa lidah orang sakit, tahan ya. " Haruto terheran. Mengapa sahabatnya jadi bicara dengan lembut begini. Tanpa ada umpatan, tidak ngegas, aneh sekali.
"Lu.. " Ucapannya tertahan. Haruto tak berani melanjutkannya.
"Gua, kenapa? " Percakapan berlangsung sembari Arin terus menyuapi buburnya hingga habis.
"Lebih seneng main sama Haris dibanding main sama gua? "
"Bukan apa apa, lu susah di ajak main. Kalau sama Kak Haris gua bisa gerakin badan. "
"Jadi iya lu lebih seneng ditemenin Haris daripada gua? " Hatinya kembali sakit.
"Maksud lu.. "
"Lu lebih sayang Haris daripada gua.." Matanya sudah berkaca kaca. Entah efek sakit atau apa Haruto jadi berani berbicara seperti ini.
"Ngga. Siapa yang bilang gitu ke lu? Gua lebih seneng kalau sama lu. Gua juga lebih sayang sama lu. Bukan, maksud gua emang sayang sama lu, sama Kak Haris cuma.. "
"Lu suka Haris kan. "
"Ngga tau.. "
"Lu mau buang gua kalau udah sama Haris hiks.. " Diluar kendali. Haruto jadi bertingkah seperti anak kecil sekarang.
"Engga.. Ruto jawab, lu sedih gara gara gua main sama Kak Haris terus? Itu yang jadi pikiran lu? " Lelaki itu mengangguk.
"Mulai besok gua gaakan main sama Kak Haris. Kalau rasa suka gua ke Kak Haris nyakitin lu, gua gaakan suka lagi. Udah jangan nangis, cuma lu yang gua butuhin. "