15. Rumah Sakit

24 1 0
                                    

DEWANDARA


Ada sesuatu yang amat tidak asing ketika kulihat Laras terbaring dengan oksigen di hidung dan mulutnya. Yaitu Ayah yang dulu juga kerap kali mengeluh sesak nafas meski sudah menggunakan inhealernya, sehingga menyebabkannya harus menggunakan nebulizer di rumah ketika asmanya sedang kambuh.

Ini mirip, bahkan hampir membuatku menangis karena ternyata hatiku belum benar-benar lega dengan kepergian Ayah. Dan kini, aku dihadapkan pada situasi yang hampir sama. Namun bedanya, kali ini adalah Laras, adikku. Di kantor polisi tadi, aku mendengar kronologinya dari Kak Juna yang membuatku tercekat dan marah. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana ketakutan mendominasinya ditambah sesak yang harus juga ia hadapi saat itu.

Aku kembali setelah mengantar Kak Juna pulang, dan mendapati Sagara sedang duduk di sofa ruang inap Laras sambil terus menatap adiknya.

"Kak Juna kemana?" Tanyanya. Aku lalu mengambil duduk di sebelahnya.

"Pulang. Biar istirahat, kasian apalagi mukanya bonyok gitu."

Sagara malah terkekeh dan mengangguk. Ia terlihat lebih rileks dan memejamkan matanya setelah itu. Kini, ganti aku yang menatap Laras dari sini. Nafasnya terlihat teratur, membawa kedamaian ketika melihatnya. Aku tak tahan untuk tidak duduk di sebelahnya dan melihatnya dari dekat. Rambutnya yang tergerai panjang terlihat kusut dan tak beraturan. Aku kemudian sedikit merapikannya, sampai lenguhan keluar dari mulutnya. Membuatku--dan sepertinya Sagara juga panik.

Kulihat ia membuka matanya, melihat langit-langit kamarnya, dan tak lama kembali memejamkan matanya. Tanpa sadar aku menggantungkan tanganku dan sempat tak berkutik bernafas.

"Kak," panggil Sagara pelan, yang masih dapat kudengar.

Aku mengisyaratkannya untuk diam dan tidak berisik. Kemudian kembali duduk disampingnya.

"Melek sebentar, abis itu tidur lagi."

Keadaan hening untuk beberapa saat. Sagara yang kukira sudah tertidur, ternyata masih membuka matanya dan menatap ke arah yang sama, yaitu Laras. Aku lalu ikut menyandarkan punggungku di sofa.

"Jadi, gimana di kantor polisi tadi?" Tanya Sagara.

Aku sempat mengambil nafas dalam sebelum menjawab. Merasa bahwa ini adalah sesuatu yang berat untuk dibahas. Karena aku sendiri masih merasa marah pada mereka orang-orang biadap itu.

"Pelakunya lima orang, yang emang udah jadi buronan polisi beberapa bulan lalu. Ngakunya juga udah lama ngincer rumah Laras. And, yeah, you know, what jerk like they always say. Intinya, Kak Juna bakal pastiin kasus ini bakal diurus serius dan gak bakal biarin mereka lolos."

"Trus gimana bisa ada Kak Juna disana?"

"He wouldn't tell, sih. But I think he seems like come often her house. Satpam rumahnya aja kenal sama dia."

Sagara tersenyum dan terkekeh pelan setelahnya. "Aku gak expect he's that type of brother."

"Well, aku sendiri gak kaget sebenernya. Tipe Kak Juna banget yang lebih banyak bertindak di belakang and don't wanna show off. Iya, kan?"

Sagara mengangguk singkat, lalu kembali menatap Laras. Matanya nampak sayu dan perlahan terpejam, karena waktu juga sudah menunjukkan hampir pukul 1 tengah malam. Aku yang sejujurnya sama sekali tidak mengantuk memaksa untuk memejamkan mata. Sambil berpikir bagaimana menghadapi Laras esok hari. Mengingat kami bertiga tidak pernah benar-benar berbicara atau berinteraksi dengannya.

•••


Pagi harinya, aku terbangun karena mendengar suara pintu ruangan dibuka. Mendapati Kak Juna yang datang dengan pakaian yang rapi namun santai. Aku melirik ke arah Sagara yang masih tertidur di sofa sebelah. Kulihat jam menunjukkan pukul setengah 7 pagi, aku kemudian beranjak ke kamar mandi untuk sekedar cuci muka.

ABRUPTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang