21. Trauma

18 3 0
                                    

SAGARA

Sebenarnya, ini masih terlalu pagi ketika aku hendak turun dan mengambil air minum di dapur. Kak Juna sepertinya sudah berangkat karena suara mobilnya lah yang membangunkanku tadi. Namun, saat melirik ke arah dapur, mataku menangkap ada seseorang disana. Duduk di kursi pantry menggunakan piyama biru, dan rambut panjang yang tergerai berantakan.

Meski dalam keadaan setengah sadar, aku langsung tau bahwa itu adalah Laras. Sedang duduk sendirian dan tengah mengoleskan selai di dua lapis rotinya. Ia kemudian memakannya dengan tenang, sambil menonton di ponselnya.

Ia mungkin saja berbohong ketika kemarin mengatakan sudah makan ketika waktunya makan malam, atau memang laparnya mungkin biasa datang di jam segini. Tapi yang jelas, aku memilih untuk tetap diam seperti ini, membiarkannya makan dengan tenang disana.

Mataku memperhatikan bagaimana pipinya yang membulat berisi makanan itu bergerak mengunyah. Tangan kanannya ia gunakan untuk memegang rotinya, sedang sebelah tangannya digunakan untuk mengangkat ponselnya. Aku tidak tau jelas apa yang sedang ditontonnya, karena suaranya tidak terdengar dengan keras. Tapi, beberapa kali kulihat tawa ringan lolos dari bibirnya. Aku dengan sangat sadar tersenyum melihatnya. Ia terlihat menggemaskan disaat seperti ini.

Ia akhirnya menghabiskan dengan tiga lapis roti dengan selai yang sama. Sebelum dirinya beranjak, aku buru-buru bersembunyi sebelum ketahuan memperhatikannya sejak tadi. Aku tak berniat untuk menyapanya karena aku tau pasti situasinya akan berakhir canggung atau tidak mengenakkan. Setelah suara pintu kamarnya tertutup, barulah aku turun untuk mengambil minum di dapur.

---

"Mau ambil barang jam berapa?"

Aku, Kak Dewa, dan Laras saat ini tanpa sengaja berkumpul di ruang tengah. Aku sendiri sejak tadi sedang duduk santai dan menonton tv, sedang Kak Dewa baru saja selesai mencuci mobilnya dan menghampiriku, bersamaan dengan Laras yang baru keluar dari kamarnya.

Ini masih sekitar jam 10 pagi. Acara tv hanya masih menayangkan kartun-kartun yang sampai saat ini masih tetap aku nikmati.

Melihat Laras yang datang dari arah berlawanan, Kak Dewa kemudian menanyakan hal yang sejujurnya ingin kutanyakan sejak tadi. Kulihat Laras yang belum sepenuhnya sampai di ruang tengah menghentikan langkahnya ketika ditanya demikian.

"If you guys don't mind at 11,"

"It's okay. Biar aku siap-siap sebentar." jawab Kak Dewa. Aku pun yang mendengarnya buru-buru mematikan TV dan hendak beranjak, sebelum Laras kembali melanjutkan kalimatnya.

"Thank you.... and I'm sorry. Maaf jadi merepotkan."

Matanya mungkin selalu menghindari kontak mata ketika berbicara dengan kami. Tapi kali ini, ia benar-benar menunduk sambil memainkan jari tangannya gelisah. Aku tak tega melihatnya seperti ini. Berada di posisinya juga pasti amat sulit.

"No need to sorry. Kami ngelakuin ini karena ingin, bukan karena suruhan atau paksaan. Jadi, jangan berpikir kamu merepotkan, okay?"

Laras hanya diam mendengar jawaban dari kak Dewa itu. Kami kemudian sama-sama kembali ke kamar masing-masing untuk bersiap.

Tak selang lama, aku keluar dari kamar menuju garasi, dan sudah menemukan kak Dewa yang sedang memanaskan mobilku. Karena posisinya yang berada di paling luar, maka aku setuju untuk menggunakannya.

Laras keluar sekitar 10 menit kemudian, dengan pakaian serba panjang yang menutupi tubuhnya. Aku dan dia sempat sama-sama kebingungan ketika harus menentukan siapa yang akan duduk di depan bersama kak Dewa. Aku sendiri merasa tidak enak, seolah seperti mengucilkannya jika ia duduk di belakang sendirian. Sedangkan ia malah menyuruhku untuk duduk di depan.

ABRUPTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang