04. Greeting

30 7 0
                                    

DEWANDARA

"Abis ini pada bantuin beres-beres rumah, ya. Di pinggirin aja kursinya kayak kemarin. Orang-orang mungkin baru pada dateng sore buat bantuin."

Ucapan dari Kak Juna itu kemudian memecah keheningan sarapan pagi ini. Aku hanya menjawab dengan anggukan kepala, pun dengan Sagara yang duduk disampingku.

Sudah seminggu berlalu sejak kematian Ayah. Tentu saja ini adalah waktu yang panjang yang kurasakan. Suasana di rumah terasa sekali perbedaannya. Tidak ada lagi yang menyiapkan sarapan di pagi hari, tidak ada lagi waktu bersama menonton TV di malam hari ketika kami semua baru pulang kerja dan kuliah. Atau sekedar percakapan-percakapan kecil menghangatkan hati. Ayah selalu pandai dengan kata-katanya. Mungkin paham bahwa ketiga putranya ini selalu kesulitan mengungkapkan sesuatu dengan perkataan.

Suasana rumah jadi hening, benar-benar hening. Beberapa hari yang lalu, aku dan Kak Juna kembali bekerja. Pun dengan Sagara yang juga kembali ke kampus. Namun ketika kami sama-sama sudah di rumah, kami memilih diam. Tidak ada percakapan kecil seperti yang selalu Ayah mulai dulu. Kami langsung masuk ke kamar masing-masing begitu tiba di rumah.

Tidak, aku paham. Aku amat paham fase ini. Aku masih berduka, pun dengan adik dan kakakku itu. Aku tidak memaksa keadaan kembali hangat seperti dulu, karena aku tau semuanya tak akan mungkin lagi sama. Aku hanya, merindukannya. Merindukan Ayah, juga suasana ketika ia masih ada.

"Soal makanannya gimana kak?" Tanyaku kemudian.

"Udah dipesen, sama kayak catering kemarin. Pokoknya udah beres kok. Om Gilang yang urus ini semua."

Aku mendadak membeku mendengar nama itu. Ah, sudah lama sekali sejak beliau terakhir kali datang ke rumah. Mungkin, sekitar 3 tahun yang lalu? Otakku secara otomatis memutar ingatan tentang gadis yang diajak beliau ke pemakaman Ayah tempo hari.

Aku diam-diam merindukan gadis itu.

Kuakui ia tumbuh menjadi perempuan yang sangat cantik. Aku hanya beberapa kali mendengar kabarnya dari Om Gilang ketika beliau datang, ketika Sagara yang sekampus dengannya kebetulan melihatnya. Atau ketika secara sengaja adikku itu 'memata-matai' nya dari jauh. Aku tak pernah lagi melihatnya secara fisik sejak beberapa tahun yang lalu.

Namun melihatnya tidak merespon apapun ketika Om Gilang berkata bahwa Ayah adalah Ayah kandungnya, ada sesuatu yang sedikit menggangguku tentang itu. Aku memang tidak mengharapkan ia akan menangis atau mengamuk ketika diberitahu hal sebesar itu. Namun, diam bukan pula respon yang baik. Aku tanpa sadar terus bertanya-tanya mengenai keberadaannya ketika Om Gilang dan istrinya terus datang ke acara kirim do'a tempo hari. Berharap adik bungsuku itu juga secara ajaib datang kemari.

•••

Acara kirim do'a berlangsung lancar dan khidmat. Ada banyak orang yang datang, yang sejujurnya tidak semua kukenal. Kak Juna lah yang sejak tadi sibuk menyapa dan menyambut tamu, sedang aku dan Gara sibuk ikut membantu di dalam.

"Sudah dihubungi?"

"Udah, Pa. Tapi gak aktif."

"Seharusnya kita gak biarin Laras berangkat sendiri, Ma. Papa yakin dia itu kabur."

"Hush, jangan nuduh anak sendiri kayak gitu. Ditunggu aja, Pa. Laras juga perlu waktu."

Aku yang saat ini tengah membersihkan teras rumah, secara tak sengaja mendengar percakapan Om Gilang dan istrinya. Aku dibuat berharap kembali, apakah adik bungsuku itu sungguh akan datang? Kalau begitu, kenapa ia tak kunjung datang juga sampai acara selesai?

Namun, baru saja kakiku selangkah masuk ke dalam rumah, suara heboh Tante Anna--istri Om Gilang, membuatku membeku.

"Laras, astaga, nak. Dari mana aja? Telponnya juga kenapa gak aktif?"

ABRUPTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang