16. Rumah (?)

28 3 0
                                    

LARASATI

"But I don't want to, Pa. Papa bisa tinggal nambahin satpam yang ada di rumah aja, kan? It's enough. Aku gak perlu sampe diungsikan ke tempat lain kayak gini."

"It's not, Laras. Kamu gak diungsikan. Rumah itu juga rumah kamu, keluarga kamu. We've talked about this a lot, ya, Laras. Don't make me talk twice."

"Where's Mama? I want to talk with her."

"Laras... Dituruti saja, ya, apa kata Papa. Ini demi kebaikan kamu juga kok. Sementara, gak akan lama. Seenggaknya sampe kami balik ke Indonesia."

"After what I went through, gak bisa bikin kalian balik, ya? Did you ask me what do I feel now and what did I feel then?"

"Don't start again, Laras."

"Hhhh, okay. I'm enough. See you later, Ma, Pa."

Sambungan telpon kuputus. Arjuna dan Dewa yang keluar ruangan tepat ketika aku hendak menelpon itupun juga belum kembali.

Maaf, tapi aku masih belum bisa memanggilnya dengan embel-embel 'kakak'. Mereka dan segala yang berkaitan masih tetap asing bagiku, dan aku tidak berpikir untuk membiasakan ini semua. Aku, si manusia pembenci perubahan merasa ini adalah sesuatu yang mustahil bisa kulewati dengan baik. Maka kabur adalah pilihan yang selalu terlintas di kepalaku.

Keadaanku rasanya sudah jauh lebih baik. Walau tidak dapat kupungkiri bayang-bayang kejadian malam itu sedikit membuatku takut. Aku pun masih punya banyak pertanyaan bagaimana Arjuna bisa datang dan menyelamatkanku semalam.

Berumur panjanglah. Barus aja kupikirkan, laki-laki yang kumaksud kembali masuk ke dalam ruangan. Kali ini sendirian, tidak tahu kemana perginya adiknya itu. Aku yang saat ini sudah berdiri dan hendak menuju kamar mandi langsung dihampirinya.

"Mau kemana?"

"Kamar mandi. Gapapa, aku bisa sendiri." Ucapku menolak gerakannya yang hendak membantuku itu.

Kakinya mundur selangkah, dan membiarkanku masuk ke dalam kamar mandi dengan tiang infus yang tetap kuseret. Dapat kurasakan tatapan matanya masih tetap terus memperhatikanku, bahkan setelah aku keluar dari kamar mandi.

"I'm okay. You don't have to looking at me with that gaze." Ujarku saat ia masih saja memperhatikanku. Ia kemudian duduk di sofa, sedang aku memilih untuk berbaring sambil menatap keluar.

"Istirahat. Muka pucat kamu gak bisa bohongin saya."

Aku menatapnya sebal. Apa memang kepribadian aslinya semenyebalkan ini?

"Saya udah minta ART di rumah kamu buat beresin barang-barang kamu di rumah." Ucapnya, yang malah membuatku berpikir, dia ini sedang mencari topik pembicaraan kah?

"Kapan aku bisa pulang?"

"Kalo keadaan kamu baik-baik aja, seharusnya hari ini juga udah bisa pulang."

Aku tak menjawab apapun. Memilih untuk memejamkan mata sambil duduk bersandar di atas ranjang. Tak lama kemudian, seorang perawat datang membawa makanan untukku. Aku tak pernah berselera dengan makanan hambar nan aneh ini. Namun belum sempat untuk menolak, laki-laki bernawa Dewa itu kembali dengan membawa dua gelas minuman yang kalau bisa kutebak, itu adalah kopi. Ia kemudian membantu membuka makanan yang baru saja diantar untukku itu.

"Gak dimakan?" Tanyanya kemdian. Aku yang sebenarnya sangat enggan memakan makanan ini pun pada akhirnya tetap memakannya beberapa suap. Karena tidak mungkin bagiku merengek di depan mereka.

---

Sorenya, akhirnya aku diperbolehkan untuk pulang. Walaupun bukan pulang ke rumahku sendiri. Kini, dengan berjarak satu langkah di belakang, aku berjalan mengikuti Dewa yang sebelah tangannya membawa beberapa barangku. Arjuna lebih dulu pergi ke kantornya siang tadi karena ada masalah urgent katanya. Oleh karena itu aku berakhir berdua dengannya.

ABRUPTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang