LARASATI
Sudah sejak pagi sekali, aku yang terbiasa bangun di pagi hari merasa suntuk dan tidak tahu harus melakukan apa di kamar ini. Aku merindukan buku-bukuku. Beberapa diantaranya seharusnya sudah bisa kuselesaikan tadi malam. Tapi sayanya, ART di rumah sepertinya lupa untuk membawa sebagian nyawaku itu.
Sekitar pukul 6 pagi, samar kudengar suara perabot di dapur berbunyi, seolah ada seseorang yang sedang memasak. Aku sendiri sudah siap dengan pakaianku. Memutuskan untuk pergi ke kampus pagi-pagi meski nyatanya jadwal kelas hari ini kosong. Namun, setelah semalam mengabari Kania mengenai keadaanku secara singkat, kami berjanji akan bertemu di kampus sebelum ia memulai kelasnya.
Aku duduk dan berdiri dengan gelisah. Mempertimbangkan apakah aku harus keluar atau tidak? Akan lebih etis sebenarnya jika aku keluar dan membantu menyiapkan makanan--mengingat disini statusnya adalah aku menumpang. Tapi, dengan pengalamanku di dapur yang sangat minim, sepertinya aku hanya akan mempermalukan diriku sendiri.
Yah, walaupun pada akhirnya, secara impulsif aku membuka pintu dan berjalan ke arah dapur. Terlanjur di tatap oleh Arjuna yang sedang berkutat di dapur. Netranya nampak terkejut, namun sedetik kemudian senyuman tipis terulas di bibirnya saat aku berjalan ke arahnya. Aku sendiri hanya bisa memasang wajah kikuk. Kemudian menyesali aksiku yang kulakukan seolah tanpa sadar ini.
"Tidurmu nyenyak? Apa kamarnya membuatmu kurang nyaman?"
"Everything okay."
Aku kemudian berdiri di balik meja pantry, mengintip apa yang sedang ia masak. Aku benar-benar tidak memiliki pengalaman apa-apa di dapur. Sehingga untuk sekedar membedakan aroma pun rasanya sulit. Aku hanya mencium aroma makanan disana, namun tidak bisa menebak apa yang sedang dimasaknya.
"Saya lagi masak nasi goreng untuk sarapan nanti. Kamu ingin sesuatu untuk sarapan?"
"Aku gak terbiasa sarapan. But if you have a slice of bread, it's fine for me."
"Got it. Setelah ini aku siapin, ya. You can sit there or... do anything you want."
Aku mengangguk. Percakapan dan situasi ini terasa sangat canggung, sehingga waktu rasanya berjalan lebih lambat. Tidak ada yang membuka obrolan diantara kami berdua. Ada akhirnya, aku memutuskan hanya menonton punggungnya yang lebar, sekaligus aksi memasaknya.
Pikiran mengenai kenyataan bahwa yang dihadapanku ini adalah kakakku mendadak datang kembali. Membayangkan ternyata hidupku bergenre drama seperti ini, sama sekali tidak pernah terlintas dipikiranku. Meski aku sendiri adalah seorang penulis fiksi, tapi hal seperti ini tidak pernah kuangkat dalam ceritaku.
Sudah pernah kukatakan bahwa aku adalah orang yang membenci dan amat sulit menerima perubahan. Namun, dengan keberadaanku disini, dan juga percakapan-percakapan singkat yang sudah kulakukan pada ketiga saudaraku itu membuatku mempertanyakan diriku kembali. Apa aku sudah mulai menerima mereka? Secepat ini? Semudah ini? Bagaimana bisa? Apa aku hanya tanpa sadar terdoktrin oleh kenyataan bahwa mereka adalah kakak-kakak kandungku, sehingga aku dengan lapang dada menerima mereka?
"Laras?"
Aku dikejutkan oleh Dewa yang entah sejak kapan sudah berdiri di sampingku. Kulihat Arjuna juga sudah menyelesaikan masaknya, dan mulai meletakkan nasi goreng ke dalam piring.
"Kamu udah mau ke kampus hari ini?" tanyanya kemudian. Ia sepertinya sudah melontarkan pertanyaan itu, namun aku tidak mendengarnya.
"Ah, iya. Aku ada janji sama temenku."
"Gara, kamu mau ke kampus juga hari ini?" Arjuna kemudian bertanya pada Sagara yang kulihat baru turun dari tangga. Dengan tatapan bingung, ia mengangguk sebagai jawaban.
"Kenapa emangnya?"
"Laras, kamu bareng Gara ke kampus gapapa? Mobil kamu masih di rumah. Nanti setelah pulang dari kantor, saya bawa kesini. Kalian sekampus, kan?"
Aku dan Sagara lantas saling menatap dengan tatapan bingung. Permintaan Arjuna rasanya selalu sulit kutolak, dan entah kenapa aku berpikir bahwa kalau aku menolak, aku akan menyakiti hati ketiga laki-laki ini.
"Iya, kita sekampus." jawab Sagara.
"Is it okay, Laras?" tanya Arjuna lagi, memastikan. Aku hanya mengangguk menjawabnya, kemudian memilih untuk kembali duduk lurus di meja pantry. Disampingku, Dewa sudah duduk dengan tenang menatap piring dihadapannya.
---
"WHAT??!!"
"Ssssttt.... Kania, plis, lo bisa gak, sih, jangan heboh? Ini kantin lagi rame."
Sesuai janjiku dengan Kania, aku bertemu dengannya di kantin FSRD bersama Keenan yang katanya memilih untuk bolos kelas hari ini.
Aku baru saja menceritakan semuanya kepada mereka berdua. Ya, tentu saja dengan melewatkan bagian yang paling mengerikan, yaitu ketika para maling itu hampir menyentuhku. Aku masih merasa tidak nyaman jika harus membicarakannya, terlebih di tempat umum seperti ini.
"The hell. Trus gimana? Lo- ah, gimana bisa akhirnya lo di rumah sakit? Siapa yang nolongin? Maling-maling itu trus gimana?"
Aku menghela nafas panjang sebelum menjawabnya. "Arjuna, errgh-kakak gue. Dia yang nolongin. Maling-maling itu untungnya udah ditangkep dan dipenjarain."
"Kakak?" Keenan terlihat keheranan setelah aku menjawab seperti itu. Aku mendadak lupa, bahwa perihal hal ini, aku hanya menceritakan kepada Kania. Tidak dengan Keenan.
"Ras?" Kania bertanya padaku, meminta persetujuan. Aku kemudian mengangguk mengizinkan Kania untuk menceritakan kondisi keluargaku pada Keenan.
"Nanti aku ceritain, oke?" ucap Kania pada Keenan. "Trus sekarang lo gimana? Masa lo langsung pulang ke rumah lo, Ras? Lo mau nginep di apart gue dulu gak? Seenggaknya setelah beberapa lama, deh. Pasti agak trauma gak, sih, kalo langsung pulang ke rumah..."
"Bokap nyokap gue nyuruh gue tinggal sementara di rumah keluarga mereka. Ah, ya begitulah. Gue masih canggung banget bilangnya. Intinya, gue gak pulang ke rumah dulu kok sementara. Thanks tawarannya, ya, Kan."
"Lo kayak sama siapa aja, deh."
"Sorry tapi gue jadi gak paham karena kalian gak menjelaskan beberapa hal yang bikin gue miss disini. Bisa dijelasin sekarang aja, gak?"
Keenan terlihat kebingungan sekaligus kesal. Aku hampir tertawa karena ekspresinya sangat lucu.
"Nantii, bub. Sumpah aku bakal ceritain nanti."
"Janji loh?"
"IYAAAA..."
Keenan kemudian kembali tersenyum dan kembali menempel ke arah Kania.
"Yaudah, kalian mau ada kelas lagi, kan? Gue mau balik dulu, ya. Hari ini gue gak ada kelas soalnya."
"Mau gue anter, gak, Ras? Kelas gue masih ada sejam lagi kok." tawar Keenan yang langsung kurespon dengan gelengan kepala.
"Gue masih mau ke starbucks depan sih sebenernya, hehe. Deket, gak usah dianter."
"Yaudah, deh."
"Lo kalo mau nginep apart gue langsung dateng aja, ya, Ras. Jangan diem-diem aja, oke?"
Aku tersenyum mengangguk, kemudian pergi meninggalkan mereka berdua. Aku berencana untuk melanjutkan naskah bukuku yang sempat nangkring beberapa hari ini. Padahal, aku inget jelas kalau di malam kejadian rumah kemalingan itu, aku hendak lanjut menulis karena baru saja mendapat ide. Yah, semoga ide yang tertunda itu masih bisa aku selamatkan dan eksekusi di naskah.
---
btw adakah yang masih nungguin cerita ini? :')
KAMU SEDANG MEMBACA
ABRUPT
Fiksi PenggemarSeorang Malaika Larasati tak pernah menyangka bahwa ada rahasia besar yang disimpan orang tuanya selama 20 tahun ia hidup. Sore itu, telfon mendadak dari Papanya adalah awal mula petir besar itu datang. Membawa kabar bahwa dirinya bukan anak kandung...