ABIMANA
Kakiku baru saja hendak melangkah, sebelum aku melihat keberadaan seseorang yang sepertinya aku kenali lewat geraian rambut panjang sepunggungnya. Dengan dress yang kusadari lebih sering ia gunakan meski baru hanya beberapa kali bertemu, aku tau itu Laras.
Aku yang memang hendak balik pulang mau tidak mau harus melewatinya, yang kini masih berdiri menatap sebuah batu nisan yang aku tidak tahu itu siapa. Sampai di jarak beberapa meter, melihatnya yang masih tidak berkutik menatap ke bawah, aku memutuskan untuk menghentikan langkahku.
Kira-kira hampir 5 menit kemudian, ia baru mengalihkan pandangnya dan mata kami bertemu. Aku tersenyum kikuk kepadanya.
"Abim?"
Aku menggaruk belakang kepalaku yang tidak gatal, kemudian berjalan mendekatinya.
"Lo udah lama berdiri di situ?" tanyanya lagi.
"Enggak kok. Lo sendiri baru dateng? Soalnya gue pas dateng tadi gak ada ngeliat lo soalnya."
"Lumayan."
"Udah mau balik? Sorry, ya, tadi gue berdiri mungkin ngeganggu lo." Ucapku. Ia sama sekali tidak menunjukkan ekspresi apapun, membuatku berpikir mungkin aku membuatnya kesal?
"Gak ganggu. Ini gue emang udah mau balik."
"Oh. Mau bareng?"
"Maksudku, bareng ke depan, hehe."Aku buru-buru meralat ucapanku sebelum aku dicap sebagai orang freak olehnya. Ah, payah. Aku benar-benar payah untuk mencoba menjadi baik dengan orang pendiam seperti Laras ini.
"Ayo." jawabnya, kemudian berjalan lebih dulu. Aku kemudian menyusul di belakangnya, sambil melihat batu nisan yang ada di makam tersebut. Satu hal yang kuperhatikan adalah tanggal wafatnya masih belum lama ini.
Aku memperhatikan parkiran TPU yang hanya berisikan mobilku saja. Karena memang hari sudah sore bahkan hampir malam, TPU ini biasanya memang sepi.
"Gak bawa mobil, Ras?" tanyaku ada Laras yang kini sedang menunduk menatap ponselnya.
Ia kemudian menggeleng. "Ini lagi mesen grab."
"Bareng gue aja. Udah hampir malem gini, Ras. Serem di TPU sendirian."
Aku bukan berniat menakuti, tapi memang benar seram, kan?
Laras kemudian melirik dan memperhatikan sekitar. Terlihat juga sedang berpikir.
"Is it okay?"
Aku terkekeh pelan mendengarnya. "Oke, dong. Kan gue yang nawarin. Yuk, keburu malem."
Ia akhirnya mengiyakan dan masuk ke dalam mobil. Suasana sebagian besar diisi dengan hening. Kulihat Laras lebih sering melirik ke samping jendela, memperhatikan apa yang dilewati di jalan dengan sorot mata antusias.
Hujan kemudian perlahan turun dengan derasnya. Kami terjebak macet, tidak tahu apa yang menjadi penyebabnya kali ini. Aku memperhatikan para pengendara motor menepi dengan panik lalu memakai jas hujannya. Aku sedikit bersyukur karena keputusanku untuk membawa mobil hari ini.
15 menit pertama keadaan masih sama heningnya. Mobil ini juga hanya dapat berjalan sedikit demi sedikit, membuat rasa bosan menghampiriku. Kulirik Laras yang masih juga terlihat tenang dalam diamnya.
"Ini gue puter musik biar gak bosen gapapa, kan, Ras?" tanyaku akhirnya.
"Loh, ya gapapa, Bim. Ini, kan mobil lo."
"Hehe, gue takut lo gak nyaman."
"Gapapa, Abim."
"Okey, gue hidupin radio aja, ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
ABRUPT
FanfictionSeorang Malaika Larasati tak pernah menyangka bahwa ada rahasia besar yang disimpan orang tuanya selama 20 tahun ia hidup. Sore itu, telfon mendadak dari Papanya adalah awal mula petir besar itu datang. Membawa kabar bahwa dirinya bukan anak kandung...