Mafumafu, nama lelaki muda itu. Malam ini, ia harus melarikan dirinya.
Semua berawal dari pagi yang biasa saja. Sungguh, biasa saja.
Begitu membuka mata, langit-langit kusam dengan cat sudah mulai mengelupas jadi pemandangan pertama yang menyambut. Sekian detik habis digunakan mengumpul nyawa. Sebelum pada akhirnya, raga jangkung si pemilik helai putih salju berpipi barkode bisa dibawa duduk sebentar.
Sayup-sayup terdengar riuh dari lantai bawah. Mafumafu tertegun, sebelum kemudian mengangkat diri untuk bersiap. Memakai seragam, memasukkan buku jadwal pelajaran hari itu ke dalam tas, kemudian merapikan diri agar terlihat bersih.
Meski suram nan kusam, setidaknya ia masih layak keluar rumah.
Anak tangga demi anak tangga ia langkahi. Semakin raganya dekat dengan permukaan bumi, makin keras nan jelas keributan yang dapat telinganya tangkap.
Baru dua langkah menjejak di lantai satu, sebuah gelas kaca telak menghantam pelipisnya. Pecah, membuat darah mengalir menuruni pipi sampai dagu.
Wanita paruh baya yang menjadi pelaku pelemparan bukannya minta maaf, justru menegur kasar. "Baru bangun, kau? Dasar anak pemalas!"
Menunduk dengan sungkan, lelaki albino membalas sedikit lirih selepas mengelap darah di wajah menggunakan sapu tangan lusuh di sakunya. "Selamat pagi, Bibi."
"Apanya yang selamat pagi?! Apa kau tidak punya satu hal saja yang bisa dilakukan dengan benar?? Keadaan di tempat ini dari awal saja sudah sulit! Tidak, seluruh dunia ini lagi dilanda krisis! Bukannya membaca situasi, kau justru bermalas-malasan?? Sudah numpang jadi beban, tidak berguna, lagi!"
Melenggang pergi ke halaman belakang, mengabaikan pria setengah mabuk yang masih sibuk bergumam sendiri di dekat dapur. Wanita itu sekali lagi berseru, "Cepat berangkat saja, sana! Tidak ada sarapan untukmu. Kita lagi sulit pangan!"
"Baik, Bibi..."
Pintu kayu lapuk berderik pelan di belakangnya. Mafumafu tertunduk sejenak, mengamati sepasang sepatu butut dengan sol yang hampir copot di kedua kakinya. Tak lama hela napas dalam meluncur dari mulut, sebelum pemuda itu melangkah menuju sekolah.
Langkah demi langkah membawa diri sang albino menyusuri setapak jalanan berbatu yang diselimuti debu dan sedikit hancur. Lolongan beberapa anjing liar terdengar dari jauh. Agaknya, kompetisi sekali lagi dimulai demi sepotong makanan basi yang teronggok dalam tong sampah.
Tentu saja begitu. Jangankan anjing, manusia saja telah memasuki era kompetisi. Dunia sedang kacau. Mencari sesuap pengisi perut bukanlah sesuatu yang bisa dipilih-pilih.
Ah, seketika memorinya berputar lagi. Masa lalu memang gemar sekali muncul tanpa permisi. Sekeras apapun usaha demi mengubur mereka dalam-dalam, mereka akan mencari ribuan cara lagi untuk menggali jalan menuju permukaan. Terkadang, hal inilah yang membuat Mafumafu merasa muak. Apanya yang memulai hidup baru? Untai kalimat itu tak ubahnya gagasan kosong yang sama sekali tak ada bobotnya.
Mafumafu terus melangkah. Dilewatinya sebuah spanduk bertuliskan, "Manusia Bisa Bangkit!" Yang terpampang tepat di depan sebuah bangunan yang tengah direnovasi. Nyaring deru alat berat serta lalu lalang pekerja konstruksi mengiringi hening perjalanannya untuk beberapa saat, sebelum pemuda itu berbelok menaiki tangga yang lagi-lagi telah rusak di beberapa bagian.
Suara radio pagi sayup terdengar dari beberapa rumah sederhana yang ia lewati. Sedang sebagian lagi didominasi suara alat memasak ataupun percakapan penghuni rumah-rumah tersebut. Lagi-lagi pemuda albino mengunci mulut, menunduk pandang. Tiada niat sama sekali menaruh mata pada orang-orang yang berpapasan dengannya, apalagi bertegur sapa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hiraeth
Fanfiction"Apa itu tempat kembali?" Pemuda pelarian itu mengerjap. Tak butuh waktu lama bagi sepasang biru samudera sang penanya untuk berbinar. Mengangkat kedua sudut bibir, sang pemuda pelarian menjawab, "Entahlah. Aku tak yakin. Mungkin bagiku, itulah temp...