Hal yang pertama menyambut pandangan saat pertama mata itu terbuka, adalah wajah kuyu penuh kekhawatiran pemilik tatto barkode yang langsung berubah lega.
Begitu mengetahui kesayangannya telah membuka mata, Mafumafu langsung menghambur, memeluk erat raga kecil yang masih terbaring lemah itu. Isakan samar terdengar, disertai syukur terhatur dari lisan si albino.
Soraru yang tak mengerti apapun, mencoba merekognisi keadaan sekitar. Oh, ia segera tahu bahwa ini adalah kamar rawat di klinik Kashitaro. "Ma...fu...?"
"Ssh... jangan memaksakan diri dulu, Rarucchan... kamu masih butuh istirahat," sela Mafu seraya mengusap lembut sisi kepalanya. Perban. Soraru bisa merasakan perban melilit di kepala.
Bersamaan dengan itu, satu persatu nyeri datang merambat di tubuhnya, membuat si raven meringis. Mafu kembali memberi kalimat penenang, sekali lagi mengecup wajah si raven begitu lembut.
"Apa yang... terjadi...?"
Tepat usai pertanyaan itu terucap, pintu kamar terbuka. Kashitaro masuk bersama Naruse, Ado, Sou, dan Eve. Mengekor di belakang mereka Urata dan Amatsuki.
"Oh, Soraru-san sudah sadar? Syukurlah..." itu kalimat pertama yang dilontar Kashitaro sesaat setelah dia masuk. Sekali lagi, Soraru menanyakan apa yang terjadi dan meminta Mafu membantunya agak duduk menyandar pada bantal.
"Tadi Soraru-san jatuh karena terdorong. Beruntung Sou dan Eve sedang lewat disana. Amatsuki juga melihat kejadiannya dan langsung bergegas menolong," jelas Kashitaro.
"Jatuh...? Ah..." Seketika Soraru mengingat kembali apa yang baru saja menimpanya. Seketika tubuhnya sedikit gemetar. Menyadari ini, Mafu beri rangkulan pada bahu kesayangannya. Tanpa penenang verbal, hanya mengusap lembut tubuh ringkih itu.
"Shima, Sakata, dan Senra dibantu Luz masih mengejar orang itu. Sampai sekarang belum ketemu." jelas Urata yang raut wajahnya terlihat jengkel.
"Keterlaluan sekali," timpal Naruse, "orang itu harus dilaporkan ke pihak berwajib!"
Tersentak, Soraru baru menyadari sesuatu saat itu juga. Berimbas pada getar tubuhnya. Sepasang manik biru melebar, masih berusaha menguatkan hati, berpikir positif, hati-hati, teramat hati-hati nan sedikit lirih. Lisannya bicara,
"Tunggu... P-perutku...? M-Mafu, kenapa... kenapa perutku..."
Si albino menggigit bibir. Kentara netranya membendung airmata sekuat tenaga. Pias tatap merah darah itu. Tak kuasa memberi jawaban barang sepatah katapun.
Hingga akhirnya, Kashitarolah yang angkat bicara. "Maaf, Soraru-san... Karena terkena benturan yang sangat keras, janin Soraru-san... tidak terselamatkan."
Seketika degupnya berhenti. Pucat wajah itu, terperangah atas kabar yang baru ditangkap daun telinganya.
Namun, rupanya perih warta duka tak berhenti disana. Kashitaro melanjutkan, "Dan... Karena kondisinya sangat gawat, serta membahayakan nyawa, aku... terpaksa mengangkat rahim Soraru-san juga lewat operasi..."
Seketika, saat itu juga sekujur tubuhnya lemas. Soraru mencelos. Tak mampu memberi respon apapun bahkan sampai dekapan erat diberi oleh suaminya.
Ia bisa merasakan sukmanya dicabut dari tempatnya. Kabar barusan, bahkan terasa jauh lebih menyakitkan ketimbang nyeri sekujur badan dan luka jahitan di perutnya.
Sebagai gantinya, Mafulah yang terus menghibur, mengatakan semua baik-baik saja. Meyakinkan Soraru bahwa dia tetap mencintai Soraru apa adanya. Memberi dekap erat, memastikan tubuh dalam peluknya tak mendingin selagi terus memberi afeksi dan atensi lewat berbagai cara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hiraeth
Fanfiction"Apa itu tempat kembali?" Pemuda pelarian itu mengerjap. Tak butuh waktu lama bagi sepasang biru samudera sang penanya untuk berbinar. Mengangkat kedua sudut bibir, sang pemuda pelarian menjawab, "Entahlah. Aku tak yakin. Mungkin bagiku, itulah temp...