219 30 4
                                    

Kali ini, mereka menumpang di sebuah mobil bak pengangkut buah-buahan.

Terhitung sudah satu setengah bulan berjalan sejak keduanya memutuskan untuk kabur menjadi pelarian. Mereka telah berpindah dari satu kota ke kota lain. Bertualang mencari tempat yang cocok bagi mereka berdua untuk menetap.

Tempat yang sepi, terpencil, dan damai. Tempat dimana berita takkan sampai dengan mudah kesana. Tempat dimana mereka dapat memulai hidup baru, lepas dari masa lalu masing-masing.

Menjadi pelarian tanpa modal uang tak membuat keduanya jadi orang bodoh. Dimanapun mereka singgah, mereka selalu menemukan cara untuk setidaknya mengisi dompet dan perut. Soal mobilisasi, meminta tumpangan pada truk pengangkut dengan imbalan bantu-bantu angkat bukan hal ilegal.

Beruntung penyebaran warta tak secepat kala gawai bertakhta. Tak satupun orang mengenali bahwa yang mereka bantu adalah sosok pembantai yang berstatus buronan.

Bagaimanapun, perpindahan mereka selalu beberapa langkah di depan. Asal jarak mereka telah jauh, mereka dapat hilang ditelan masa.

"Makan saja apel di belakang sana. Tapi jangan terlalu banyak, ya," pesan si sopir pada dua sejoli yang menumpang di belakang.

"Terima kasih, Pak!" Balas Mafu dengan nada yang ceria. Soraru meraih sebuah apel yang merah besar. Harumnya wangi menggelitik hidung. Saat satu gigitan diberi, pipi si raven segera merona kemerahan karena manis segar daging renyah buah itu.

"Wah, ini manis dan segar. Airnya juga banyak..." pujinya seraya menumpu sebelah pipi.

Mafumafu yang penasaran turut mengambil sebuah apel. Sejenak kemudian ia membenarkan perkataan Soraru.

Terdengar tawa bangga dari kursi kemudi. "Anak-anak itu adalah produk lokal kebanggaan kota kami. Sejak 12 tahun lalu, kami berusaha keras mengembangkan sektor pertanian demi menghasilkan komoditas yang memadai. Bagaimanapun manusia harus terus bertahan hidup, kan?"

"Daerah Anda pegunungan, jadi tanahnya sangat subur untuk menanam buah-buahan. Apalagi dengan iklim yang cenderung sejuk, apel pasti tumbuh dengan baik," Mafumafu menanggapi.

Sang supir berceletuk, "Oh, kau kritis juga, ya! Benar, benar sekali! Sejujurnya di awal kami sempat terpuruk dan hilang harapan. Untung saja kami tidak menyerah. Butuh waktu lima tahunan sampai kami berhasil mengembangkan perkebunan apel yang berkualitas baik. Sekarang, kami sering berdistribusi dengan kota-kota lain di sekitar. Kami juga melakukan pertukaran komoditas. Di saat dunia sudah begini, manusia harus saling bantu, bukan?"

Mafumafu bergerak menyandarkan diri ke bagian belakang tempat supir. Netranya melirik, mendapati Soraru tengah tersenyum kecil seraya membelai selembar foto. Foto dia dan empat orang anaknya.

"Mereka selalu ingin jalan-jalan keluar kota," celetuk lelaki itu tiba-tiba, "Emi pernah bercerita padaku sebelum kami tidur. Dia ingin kami berlima suatu saat dapat melakukan perjalanan bersama, berpindah dari satu kota ke kota lain, mengenal orang baru dan tempat yang baru..."

Sejenak lelaki raven beringsut, merapatkan lutut dengan kepala selagi mengecup foto itu. "Maaf, ya, Nak, Mama jadi melakukannya tanpa kalian..."

Melihat ini Mafumafu tersenyum tipis. Tangan kanannya bergerak merangkul Soraru. Kemudian, dengan riang berkata, "Soraru-san takut hantu?"

"Huh?"

Mendengar pertanyaan random itu tentu saja mengakhiri tunduknya. Soraru menaikkan sebelah alis, menyawang heran pemuda berusia tiga tahun lebih muda darinya itu.

Mafumafu balas menatap dengan mata yang begitu hangat. Ah, inilah salah satu hal yang Soraru sukai dari si albino. Sepasang merah darah itu tak seseram warnanya. Selalu memberi tatap yang hangat, penuh atensi seolah terus berusaha mengulik hatinya tanpa perlu konversasi verbal. Sesuatu yang belum pernah ia dapatkan dari siapapun, bahkan anak-anaknya.

HiraethTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang