⚠️️WARNING!⚠️
Ada sedikit adegan 18+ di Chapter ini. Mohon bijak dalam membaca.Sejak kecil, dia adalah wadah harapan bagi semua orang.
Memiliki akal yang cerdas membuat Soraru kecil cepat sekali belajar. Dia mulai bisa membaca sejak berumur tiga tahun. Usia yang masih sangat belia. Bersamaan dengan menguasai perhitungan ringan, dia telah mahir membaca buku yang susah dimengerti anak-anak.
Mungkin hal itu memang luar biasa. Pertanda bagus. Namun, tak selamanya kecerdasan itu mengarah pada hal yang positif.
"Ibu sudah daftarkan kau ke les bahasa asing."
"Eh? Tapi... Minggu lalu Sora baru nambah les piano..."
"Memangnya segitu saja cukup??"
Nada suara sang ibu yang sedikit meninggi membuat nyali si kecil raven ciut. Soraru hampir-hampir menutup telinga karena sedikit takut.
Ah, tak dapat dia pungkiri. Cara sang ibu memandangnya itu menyeramkan. Soraru takut setiap kali mata itu tertuju padanya. Ada sesuatu, sebuah ambisi di sana, yang pada saat itu sama sekali belum Soraru mengerti sebagai anak-anak.
Dia akan dipukul jika tidak mendapat nilai seratus. Dia akan dikurung di kamar dan disuruh belajar seharian penuh jika tidak berada di peringkat pertama. Apalagi sejak 12 tahun lalu, dimana saat itu adalah awal dari segalanya, orangtuanya kian getol memaksa putra mereka menang dalam kompetisi.
Jujur saja, si raven merasa keberatan. Dia lelah, dia jenuh. Dia ingin bisa bermain bersama kawan-kawan sebaya. Tapi, dia bisa cerita ke siapa? Orangtuanya tak mau mendengar protes. Adik-adiknya bahkan membencinya karena sering dibandingkan dengan mereka.
Soraru kesepian, sejak usianya masih sangat belia.
Tidak, dia tidak diizinkan untuk terlihat lemah di depan siapapun.
Maka yang bisa dilakukan bocah bersurai gagak bermanik biru samudera itu adalah terus mendaki ke atas. Terus menduduki posisi terpuncak, dan terus memenuhi ekspektasi orang-orang di sekitarnya.
Ialah seorang individu yang cemerlang, teladan. Sosok yang sungguh tak tergapai lantaran terlalu tinggi nan menyilaukan. Ah, tak seorangpun bernyali mendekatinya. Ia kesepian. Dia menginginkan seorang teman. Tempatnya yang terlalu tinggi, membuatnya sangat takut untuk melihat ke bawah.
Hingga suatu saat, ia terjun begitu bebas dari takhta puncak tersebut.
Saat itu, usianya sekitar empatbelas tahun. Siswa sekolah menengah pertama yang digadang-gadang akan menyabet medali emas olimpiade sains pertama setelah sekian lama event itu mangkrak. Berkatnya, Soraru semakin tak punya waktu untuk bersantai. Hari-harinya dipenuhi dengan belajar.
Belajar, berlatih, belajar. Tak ada lagi kesibukan lain diizinkan masuk dalam jadwal rutinitas harian anak muda itu. Yang harus ia kejar adalah posisi teratas, seperti yang diharapkan semua orang.
Suatu senja, ia berjalan pulang dari sekolah seperti biasanya. Sendirian, tanpa teman. Tentu saja, karena orang-orang di sekitarnya bahkan sungkan untuk sekadar menyapa. Soraru juga bukan anak yang akan diizinkan orangtuanya mampir sepulang sekolah untuk bermain bersama teman-teman sebaya.
"Pemuda berhati es"
Itu julukan yang tak sengaja ia dengar dari teman-temannya. Ah, itu memuakkan. Sejujurnya, itu memuakkan.
Soraru tidak memiliki hati sekeras itu.
Andaikan saja mereka tahu, bahwa sejak lama sekali, Soraru berulang kali menambal hatinya. Mendoktrin diri untuk terus mematikan perasaan. Memantapkan diri untuk hidup layaknya robot. Mesin yang mencetak harapan besar orang-orang. Ada kalanya ia merasa hidup untuk orang lain. Tapi mau bagaimana lagi?
KAMU SEDANG MEMBACA
Hiraeth
Fiksi Penggemar"Apa itu tempat kembali?" Pemuda pelarian itu mengerjap. Tak butuh waktu lama bagi sepasang biru samudera sang penanya untuk berbinar. Mengangkat kedua sudut bibir, sang pemuda pelarian menjawab, "Entahlah. Aku tak yakin. Mungkin bagiku, itulah temp...