幸福

237 30 5
                                    

Soraru ingin mengusap wajahnya, untuk terakhir kalinya.

Ia tak tahu dimana jasad si albino bersemayam. Ia sama sekali tidak diberi tahu. Bahkan ketika ia bertanya, orang-orang hanya saling pandang kecut, kemudian memberi gelengan pelan.

Seolah mereka, tak mengizinkan ia bertemu dengan kesayangannya.

"Keadaan mayatnya mengenaskan sekali," lirih Kashitaro saat mengobrol dengan Naruse dan Araki, "aku yang ditunjuk menjadi ketua autopsi. Aku pun turut ditugaskan mengurusi pemakamannya. Dia... memang telah tiada."

"Kita tak boleh biarkan Soraru-san melihatnya," tambah Araki, "aku takut Soraru-san tidak akan kuat kalau lihat langsung..."

"Ssh!" Naruse mendesis, "kecilkan suaramu. Soraru-san masih di ruang sebelah!"

Ah, mereka tak tahu, bahwa Soraru benar-benar menguping pembicaraan itu.

Aitai...

Aitai na...

Mereka bahkan belum berpamitan dengan benar.

Mengapa, kau berbuat setega ini padaku?

Kembali menangkup wajah, membenam diri dalam isak tangis. Ah, sirna. Semuanya sirna. Pergi, hilang, meninggalkannya.

Sekali lagi setelah sekian lama, Soraru mati terbunuh. Lagi-lagi, dirinya mati terbunuh.

Kurushi na...

Hari demi hari yang ia lalui sebagai pasien terasa amat berat. Bukan hanya bagi dirinya, namun juga orang-orang di sekitarnya. Kashitaro tak berani lagi meninggalkan dia tanpa pengawasan. Karena jika itu terjadi, Soraru bisa saja meraih apapun itu yang sekiranya mampu memotong nadi di pergelangan.

Hari pertama, Soraru nyaris menggantung lehernya. Hari kedua, Naruse dan Ado harus susah payah menahan si raven yang berniat terjun ke dalam sumur. Hari ketiga, Kashitaro nyaris kecolongan saat Soraru meraih pisau bedah miliknya. Hari keempat, jahitan bekas operasi di perutnya terbuka, membuat lukanya menganga lagi.

Hari kelima, dirinya mulai menyerah.

Hari keenam, ia mulai menerima makanan yang diberi Ado.

Hari ketujuh, hari dimana dia mulai benar-benar membisukan diri.

Dua setengah minggu berlalu, barulah luka operasinya dinyatakan tertutup hampir sempurna. Soraru sudah boleh pulang.

Awalnya Kashitaro memerintahkan Naruse dan Ado untuk mengawal kepulangan si raven serta mengawasi agar Soraru tidak melakukan tindakan macam-macam. Tapi Soraru justru tantrum, memukuli siapa saja yang mencoba mendekatinya. Pada akhirnya Kashitaro menyerah, lalu mengizinkan Soraru pulang sendiri.

Langkah demi langkah si raven begitu gontai. Hampa, seakan tiada sukma bersemayam dalam raga. Jalan setapak yang ia pijak seakan kehilangan ronanya. Begitu juga jagat di sekitarnya. Soraru merasa dunia tak lagi berwarna. Bahkan sinar sang purnama di atas sana masih tak mampu memberi terang pada jalannya. Masih belum cukup mengembalikan sinar di sepasang biru samudera itu.

Ini berbeda.

Dia ingin pergi.

Semua sudah berakhir.

Kini, ia benar-benar sebatang kara.

Ia benar-benar telah kehilangan segalanya.

Samishi na...

Sedikit mendongak wajah kuyu yang pucat tirus itu, kehilangan tembam pada pipi yang sebelumnya gempal. Ah, dia sudah sampai. Di rumah kecilnya. Rumah kecil mereka.

HiraethTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang