256 32 6
                                    

Aku bahagia.

Dua penggal kata itu laksana papan spanduk yang tak pernah tanggal dari pusat pikiran. Bak garis batas penyortir barang, ia akan memblokir akses masuk segala prasangka buruk yang mencoba singgah ke relung sanubari.

"Aku mau pulang terlambat malam ini."

"Kenapa, Sayang?"

"Ck!" Sedikit tersentak bahunya kala pria di hadapan melirik sinis, "aku banting tulang susah payah demi hidupmu dan kau masih tanya kenapa?? Setidaknya bantu aku bekerja, Sialan!"

Pucuk raven itu menunduk dalam. Ada sendu tersirat pada sorot matanya, "...Maaf. Aku... masih berusaha cari lowongan, tapi sulit."

"Hah! Tentu saja," ketus si pria, "mana ada yang mau mempekerjakan bocah putus sekolah sepertimu? Dunia kerja sekarang itu semakin sulit, kau tahu?!"

Sasaran omel hanya mampu menggigit bibir. Sekuat tenaga, ditahan airmata agar tak menampak di sudut netra sebiru samuderanya.

Memangnya aku begini karena siapa?

Tapi tidak, kalimat itu bahkan tak sampai ujung tenggorokan. Disemat senyum tipis, berusaha menyajikan wajah termanis yang ia bisa.

"Hati-hati di jalan," katanya lembut.

Pintu ditutup sedikit kasar, sekali lagi membuat bahu si raven berjengit selagi mata terpejam. Untuk beberapa saat setelahnya, denting jam mengambil alih kebisuan selagi pria muda itu tenggelam dalam tunduk kepala. Setidaknya, hingga tarikan pelan terasa dari ujung celemek yang ia kenakan.

"Mama?"

Ia menoleh, mendapati gadis kecil usia empat tahunan menatap cemas dengan mata bulat biru samuderanya. Seketika sang pria muda kembali tersenyum hangat, sebelum kemudian membelai lembut surai sehitam raven seiras miliknya. "Ada apa, Emi sayang?"

Si kecil bergumam sedikit lirih, "Hideaki, Harue, sama Hioshi udah bangun..."

"Eh?" Sedikit terkejut pria muda itu, "sudah bangun? Tumben sekali mereka ngga nangis? Ah! Bukan saatnya begini! Aduh--"

Tergesa langkah membawanya ke sebuah kamar kecil di sisi dapur. Dalam sebuah boks bayi besar, tiga entitas seiras bertubuh mungil mengerjap mata menatap sang pria muda. Pipi gempal kemerahan mereka mengundang untuk dicubit, tapi benar tak terbasuh airmata.

Selagi ia menghela napas lega, putri kecilnya bicara, "Mereka... pasti ga mau ngerepotin Mama... Mama tadi ribut lagi sama Papa, kan? Mama pasti sedih. Harue, Hideaki, sama Hioshi ngga mau Mama terlalu capek. Emi juga... barusan, Emi bisa pakai baju sendiri, loh!"

Menyemat senyum untuk bibir merah mudanya, tangan si raven bergerak mengusap lembut puncak kepala sang sulung. "Un, Emi pintar! Mama bangga sama Emi. Mau sarapan?"

Anggukan ceria ia dapat sebagai balasan. Sang Ibu kemudian mengurus ketiga bayi laki-laki dalam boks dengan telaten. Memastikan mereka semua telah bersih dan kenyang, kini giliran ia dan putri sulungnya mengisi perut di ruang makan.

Nasi omelet dan segelas susu jadi menu sempurna pembuka hari. Emi melahap santap paginya dengan semangat. Sesekali ia bercanda dengan sang Mama, atau mengobrol soal siaran dongeng pengantar tidur dari radio semalam. Pagi yang terasa begitu hangat.

Sang Ibu pun tak ayal menggandakan kegiatan dengan mengasuh si kembar tiga. Emi yang perhatian, sesekali menyuapi Ibunya yang hanya bertangan dua. Biarlah belepotan. Sang Ibu sama sekali tidak keberatan.

Faktanya ia justru sangat senang memiliki putri yang begitu pengertian seperti peri kecil di hadapannya ini.

Usai makan, waktunya Emi kecil melaksanakan tugas sebagai seorang kakak. Selagi Mama mencuci piring dan peralatan dapur lain, gadis kecil itu menjaga adik-adiknya yang tiduran di kasur lipat lantai.

HiraethTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang