207 28 8
                                    

Tak terasa, enam bulan telah berjalan.

Pagi itu seperti biasa, kawanan kenari bercengkerama di dedahanan pohon yang rindang. Rerumputan dibasuh embun pagi, disiram arunika yang mengintip dari celah tirai pinus di kejauhan.

Sepasang merah darah mengernyit sejenak sebelum perlahan terbuka. Merespon cahaya mentari yang masuk akibat tirai jendela disibak. Maka, figur pertama yang menyambut mata ialah sosok surai gagak yang tersenyum begitu manis. Apalagi disorot sang surya.

"Pagi, Mafu," katanya selagi tersenyum.

Mafumafu terkekeh pelan. "Pagi, Rarucchan."

Secangkir teh hangat dituang dari teko porselen ke cangkir berbahan serupa. Mafumafu lekas meraih cangkir itu selagi Soraru berpindah mengoles mentega dan selai arbei pada roti panggang.

Sejenak kemudian piring berisi roti panggang tadi berpindah ke atas meja. Soraru duduk di hadapan si albino. Turut menikmati sarapan pagi mereka yang sederhana.

"Bagaimana keadaan di klinik?" Mafu bertanya selagi menggigit renyah roti panggangnya.

"Lancar seperti biasa, kok. Kashitaro-san memang dokter yang sangat kompeten. Aku belajar resep obat baru lagi darinya kemarin," jawab Soraru seperti biasa.

Mafu mengangguk takzim. "Syukurlah, ya," ujar dia, "Rarucchan juga jenius, sih... mempelajari hal baru pasti hal yang mudah."

"Kau ini," Soraru tergelak, "jangan meledekku begitu, ah!"

"Aku serius, tahu," Mafu tak mau kalah. Sukses menyentak si raven, "Rarucchan itu benar-benar jenius dan serba bisa! Pokoknya, Rarucchan itu orang yang keren!"

Seketika desir jantungnya kembali. Soraru menutup wajah, memendam rona pipinya agar tak tampak oleh si albino. "Sudahlah... jangan terlalu memujiku, dong..."

Aih, gemasnya...

Sadarkan dirimu, Mafumafu.

Mempercepat durasi makan, Mafu segera membereskan piring dan perabot lain lalu mencuci semua di wastafel. Selagi begitu, si raven terkekeh kecil sebelum kemudian bangkit untuk menyiapkan keperluan mereka.

Bayangan dari sang mentari masih cukup panjang kala keduanya mengunci pintu rumah kecil mereka. Menyapa mobil pick up Sou dan Eve yang lewat hendak berangkat ke kota seperti biasa, mereka segera pisah jalur begitu menapak kaki di luar gerbang.

"Semoga harimu menyenangkan, Rarucchan!" Mafu berkicau riang. Soraru balas melambai disertai angguk sekali. "Semoga harimu juga menyenangkan, Mafu!"

Udara pagi segar seperti biasa. Sungguh tak bisa dibandingkan sama sekali dengan ketika ia masih menetap di ibukota. Hawa pedesaan itu memang begitu sejuk. Tak sekalipun Soraru merasakan kebosanan dari menghirup udara pagi disini. Meski telah cukup lama menetap, ia tak ada niat untuk mencari tempat lain.

Kehidupan mereka berdua telah sedikit banyak mengalami perubahan. Mafu mendapat pekerjaan di ladang Canola yang terhampar luas di belakang rumah mereka. Dia juga mengurus ladang bunga milik Shoose. Sedangkan Soraru bekerja di klinik desa. Meski mendapat profesi yang terkesan sederhana, mereka cenderung berkecukupan.

Dan yang terpenting, mereka mulai menemukan kedamaian dan ketentraman di desa kecil itu.

Mafumafu menyapa empat sekawan rekan kerjanya yang telah sibuk mengurus bunga-bunga Canola yang tak lama lagi memasuki masa panen. Empat pemuda sepantaran dia dan Soraru itu memang tetangga sebelah rumah. Mereka sekumpulan yatim piatu, yang kemudian memutuskan tinggal bersama dalam satu atap.

"Yo, Urata-san, Shima-kun, Sakatan, Senra-kun!"

Lambaian bersemangat si albino dibalas balik. Mafumafu segera bergabung dengan empat sekawan, memetik Canola yang siap panen untuk dijadikan bahan baku obat herbal. Beberapa saat kemudian, mereka berlima kompak menyapa si gembala domba, Amatsuki, yang lewat di setapak depan. Mereka juga menyapa Luz si loper koran yang membunyikan bel sepedanya.

HiraethTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang