22🔫

230 19 2
                                    

Ciee di baca doang, di vote kagak. Makasih atas kesopanannya ya ).
Love you.
.
.
.

Author ingatkan ya, jika cerita ini memiliki alur yang sedikit berbeda dari yang sebelumnya. Dan juga di sini Author pengen ngasih tahu atau mengungkapkan sedikit, bagaimana suka dukanya menjadi istri dari seorang pengabdi negara. Seperti Polisi.

Dan Author harap, semoga Author bisa mendalami apa yang sudah di rencanakan dalam cerita. Dan satu lagi, Author turut berdukacita atas kemalangan yang menimpa Almarhum Brigadir Joshua🙏.

***

Di sebuah dinding yang nampak kusam, tertempel begitu banyak foto Batara dan Rere. Dari sekian banyaknya foto tersebut, hanya foto wajah Rere yang di beri coretan-coretan. Menandai mangsa yang selama ini di buru.

Seseorang berdiri di depan dinding penuh kusam itu, ia tersenyum menyeringai dengan tangan mengepal kuat pisau yang di genggamnya. Rasa dendam dan amarah membuncah dalam dada, meraung-raung ingin segera tersalurkan.

Tatapan tajamnya berubah sendu, di ikuti air mata yang mulai mengalir membasahi riasan yang melekat di wajah. Orang itu terisak lirih, rahangnya mengeras dengan sorot mata yang kembali penuh amarah.

Jleb!

Pisau yang ia genggam, kini tertempel di foto Batara. Beberapa saat kemudian, orang itu tertawa keras sambil memiringkan wajahnya.

“Sebentar lagi! Sebentar lagi .... Anda akan merasakan bagaimana sakitnya, kehilangan orang yang Anda sayang. TUAN POLISI YANG TERHORMAT!”

Tawanya semakin kencang, saat menyadari ucapannya. Orang itu kembali mencabut pisau yang tertancap di foto Batara, dengan perlahan ia menggoreskan benda tajam itu pada objek yang sama.

Ia terkekeh, kemudian menggeleng kan kepala. “Bukan! Bukan Polisi terhormat, tapi ... SEORANG BAJINGAN! Ya, pujian itu lebih pantas di berikan untuk orang, seperti Anda. Hahahaha!” ucapnya keras dengan tawa yang semakin memenuhi ruangan gelap itu.

***


Di Villa, terlihat Batara yang tengah duduk di lantai beralaskan sebuah kasur tipis. Pria itu terlihat melamun, merenungi setiap kejadian yang akhir-akhir ini menimpa dirinya dan Rere.

Di samping Batara, terlihat Helmi tengah asyik menatap wajah Ezi yang tertidur pulas bersama Rere. Lelaki itu tersenyum tipis, mengusap pipi Ezi dengan lembut.

Kini mereka semua berada di ruang tengah, menggerai bebera kasur tipis untuk di jadikan tempat tidur. Hujan yang begitu deras dan padamnya listrik, menjadi alasan utama untuk mereka memutuskan agar tidur bersama.

Terlebih lagi, itu membuat Batara maupun Helmi menjadi lebih leluasa untuk menjaga Rere dan Ezi. Walaupun penerangan terbatas dan hanya di temani beberapa lilin. Namun itu mampu membuat Rere dan Ezi tenang dan nyaman.

Helaan nafas berat keluar dari mulut Batara, dia menoleh ke samping, menatap punggung Rere dengan sendu.

“Apa itu musuh saya ya?”

Pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulut sang empu, hingga membuat Helmi menoleh padanya. Kening Helmi mengerut tidak mengerti.

“Maksud Komandan?” tanya Helmi kembali.

Lagi, Batara menghela nafas berat. Dia menyandarkan tubuhnya ke belakang sofa, lalu menatap Helmi. “Orang-orang yang saya jebloskan ke penjara.”

Mendengar itu, Helmi mulai mengerti arah pembicaraan Batara. “Komandan mengira, jika salah satu dari mereka balas dendam?” tanya Helmi memperjelas, sedangkan sang empu hanya mengangguk.

Helmi mengangguk paham. “Tapi apa mungkin itu terjadi Ndan? Selama ini kan, orang yang kita tangkap adalah penjahat berbahaya.

Yang otomatis, hukumannya tidak main-main. Di penjara seumur hidup, atau yang paling parah ... hukuman mati.”

“Saya tahu itu. Tapi mereka masih punya keluarga. Saya takut, jika keluarga mereka yang balas dendam. Kita tidak tahu kan, apa yang dirasakan oleh mereka. Saat kita menangkap salah satu anggota keluarganya,” jelas Batara.

Helmi terdiam. Jika benar seperti itu, siapa orang yang berani melawan Batara? Bahkan sampai menyakiti istri dari atasannya itu. Apa rasa dendam nya begitu dalam? Tapi ... mengapa hanya Batara saja yang di teror, sedangkan dirinya dan anak buah yang lain tidak. Paling tidak, salah satu dari mereka.

“Banyak musuh yang mengelilingi saya Mi, dan karena itu keluarga saya yang menjadi sasaran balas dendam. Bahkan, kini mereka mulai berani menyakiti istri saya secara fisik maupun mental.

Seharusnya, seorang suami memberikan kebahagiaan dan rasa nyaman pada istri mereka. Tapi saya? Saya malah menarik Rere ke kandang Singa.” Batara tersenyum miris, setelah mengungkapkan isi hatinya. Sedangkan Helmi hanya terdiam, setia menjadi pendengar yang baik untuk atasannya itu.

“Apa ... saya harus melepaskan Rere dari ikatan ini? Agar nyawa dan hidupnya tidak terancam lagi.”

Deg!

Air mata Rere mengalir, setelah mendengar semua ucapan Batara. Gadis itu membekap mulut, menahan agar isak tangisnya tidak terdengar. Maksud hati ingin mengambil minum karena haus, ia malah tidak sengaja mendengar perbincangan Batara dan Helmi.

Dadanya mulai terasa sesak, membayangkan jika memang hal itu terjadi padanya. Hatinya sakit, saat mendengar Batara berniat ingin ‘melepaskan’ nya. Jauh di lubuk hatinya yang paling dalam, Rere sangat tidak ingin hal itu terjadi.

Entah sejak kapan, tapi rasa itu mulai tumbuh di hatinya. Bahkan, hari-hari yang mereka lalui bersama, begitu indah. Dan ia tidak mau, itu hanya akan menjadi sebuah kenangan dalam benaknya.

Helmi tersenyum, lelaki itu menepuk pundak Batara pelan. “Komandan, semua itu bukan salah anda. Namun resiko yang harus Bu Rere tanggung, jika ia memiliki suami polisi yang di latih khusus. Seperti Anda.

Mungkin semua yang terjadi pada kalian, adalah sebuah ujian yang Tuhan berikan. Jangan jadikan itu sebuah alasan, untuk Anda meninggalkan Bu Rere. Jangan korbankan cinta kalian, hanya karena ini.

Saya yakin, kalian bisa melewatinya. Dan juga, saya yakin Anda bisa melindungi Bu Rere. Apalagi, beliau adalah orang yang sangat anda sayangi. Benar?”

Batara terkekeh mendengar ucapan terakhir bawahannya itu, dia tersenyum yang membuat sang empu ikut tersenyum. Helmi sudah memberikan nasihat yang begitu berarti untuknya, dia baru tahu jika Helmi memiliki sisi bijak.

“Terimakasih atas nasihatnya. Saya tidak menyangka, jika kamu memiliki pemikiran seperti itu. Saya bangga,” ujar Batara diikuti kekehan kecil.

Helmi menunduk malu, lelaki itu menggaruk tekuk lehernya yang tidak gatal. Dia baru menyadari perbuatannya. Berani sekali dia menasehati Komandan nya sendiri. Untung saja dia tidak salah bicara, jika tidak, bisa habis nyawanya.

Tanpa mereka ketahui, Rere tersenyum manis dibalik selimutnya. Ia menghapus air matanya pelan. Mungkin esok hari, ia harus berterimakasih pada Helmi, karena dia telah memberikan nasihat yang begitu bijak pada Batara.

Rere sangat tertampar dengan ucapan Helmi. Apa yang lelaki itu ucapkan memang benar, ia harus menerima semua resikonya dan dari sekarang Rere akan lebih menyiapkan mental dan juga hatinya.

Rere mendongak kan sedikit wajahnya, menatap Batara yang masih berbincang-bincang dengan Helmi. Ia tersenyum hangat, dan dengan perlahan menarik tangan kanan Batara. Memeluknya dengan erat.

TBC.

Eh ngomong-ngomong, rasanya dapet gak sih? Hahaha gak tau ah, pokoknya seperti itulah. Good bye.

THE POLICE [Hiatus]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang