2 (bertemu keluarga sinting)

36.7K 2.4K 77
                                        

Aku pulang bersama Dian, dan sepanjang perjalanan aku hanya menatap gedung-gedung yang berlalu di luar jendela mobil, tanpa niatan untuk berbicara.

"Tuan muda mengalami penyakit apa?" tanya Dian, memecah keheningan.

"Kanker otak stadium 4," jawabku, singkat.

"Berarti usia tuan muda tidak akan lama lagi," ujar Dian dengan nada yang cukup datar.

"Begitulah," jawabku tanpa emosi.

"Aku akan memberitahu hal ini kepada tuan besar dan nyonya," lanjut Dian.

"Tidak perlu," kataku tegas.

"Sejak bangun dari koma, sifat tuan muda berubah," kata Dian, memperhatikan reaksiku.

"Hanya perasaanmu saja," jawabku, mencoba menghindari percakapan lebih lanjut.

Aku kembali bungkam, malas untuk melanjutkan percakapan. Aditya mengatakan waktu yang tersisa hanya sebulan lagi, dan aku hanya perlu bertahan menjaga tubuh Aditya selama itu.

"Ayah, bunda, dan adek pasti sedih," pikirku dalam hati, terlarut dalam perasaan yang berat. Pikiranku melayang pada nasib ragaku yang kini terbaring tak sadarkan diri entah di mana. Aditya bilang, aku masih di kota yang sama, hanya cukup jauh dari tempat tinggal asliku.

"Tuan muda sudah tiba," kata Dian, mengingatkanku dari lamunan.

Aku keluar dari mobil dan melihat rumah mewah berwarna putih bersih dengan tiga lantai, air mancur buatan di depan pintu masuk, dan beberapa motor yang terparkir rapih di halaman.

Aku mengambil tas dari bagasi mobil dan berjalan menuju pintu. Begitu aku melangkah masuk, perhatian seluruh penghuni rumah langsung tertuju padaku.
"Darimana saja kau, anak kurang ajar?" tanya Satria Pratama, ayah kandung Aditya, dengan nada tinggi.

Aku tidak menanggapi ucapan Satria dan langsung berjalan melewatinya begitu saja. Saat aku menaiki tangga, tiba-tiba ada sesuatu yang terlempar dan mengenai bagian belakang kepalaku.

Aku meraba bagian belakang kepalaku dan merasakan darah segar mengalir. "Hidupmu menyebalkan, Aditya," pikirku dalam hati.

Kulihat pelaku yang melemparkan gelas itu, ternyata kakak pertama Aditya. Tidak ada sifat seorang kakak dalam tindakan itu sama sekali.

"Papa berbicara denganmu, jawab!" bentak Aprian Pratama, kakak pertama Aditya.

"Jawab bodoh!" teriak Adrian Pratama, kakak kedua Aditya.

"Kau tuli ya, setelah drama anehmu itu?" sarkas Aldo Pratama.

"Gua cuma malas membuang energi. Berbicara sama setumpuk hama seperti kalian," jawabku datar, tanpa emosi.

"Aditya!" bentak Satria, semakin kesal.

"Ya, Tuan Pratama," jawabku tanpa ekspresi.

"Aku ayahmu!" Satria semakin marah.

"Aku tidak kenal kau sama sekali," ucapku datar, tanpa peduli.

Aku melangkah naik tangga satu per satu, menuju kamar Aditya. Ketika aku membuka pintu kamar, aku melihat ruangan tersebut cukup bagus, meski didominasi oleh warna terang yang cukup menyilaukan mata.

"Darah di belakang kepalaku sepertinya berhenti sendiri," ucapku, merasa sedikit lega.

"Aditya pasti memilih mati akibat semua ini," pikirku, merenung.

Aku beristirahat, membiarkan mataku tertutup sempurna. Aditya berpesan padaku untuk bertahan hanya dua minggu di raganya sebelum aku kembali ke tubuhku yang sebenarnya.

Transmigrasi Ello (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang