Epilog

9K 317 27
                                    

Tidak terasa waktu berlalu sangat cepat. Aku telah menjadi pemimpin di perusahaan Zayan setelah lulus kuliah. Diriku telah dikarunia seorang putra tiga tahun yang lalu. Usiaku sekarang dua puluh tujuh tahun. Yah aku dan istriku fokus kuliah dulu sebelum memiliki seorang anak.

"Papa!" pekik seorang anak kecil.

Aku yang tengah sibuk memeriksa dokumen tersenyum melihat putra kecilku. Putra kecilku bernama
Arshaka Virendra Shafwan Zayan. Dia cucu pertama dan pastinya dia akan menjadi penerusku di masa depan.

"Kenapa memanggil papa, Shaka?" tanyaku.

"Shaka katanya mau punya dede bayi," ujar Shaka.

"Kesini mendekat kearah papa," ujarku menyuruh putraku mendekat.

Shaka mendekat dengan ide pintarnya dia menaiki kursi sendirian tanpa bantuanku sama sekali. Dia bersusah payah menaiki mejaku. Aku membiarkan saja lagipula Shaka seorang pria jadi harus bisa berusaha sendiri.

"Papa menyebalkan," gerutu Shaka.

"Apabila kamu dibantu terus sama papa maka kedepannya kamu akan menjadi anak manja, dan tidak bisa mandiri," ujarku.

"Papa tidak berencana akan memberimu adik dalam waktu dekat," sambungku.

"Di tk aku memukul temanku tahu pah," ujar Shaka.

"Alasanmu apa?" tanyaku.

"Masa kata dia mama jelek sih!" kesal Shaka.

"Good job," pujiku.

"Shaka nurut ucapan papa kan hajar semua orang yang menghina mama," ujar Shaka.

"Mama kemana nak?" tanyaku.

"Di rumah," ujar Shaka.

"Terus kamu kesini sama siapa?" tanyaku.

"Bareng kakak," ujar Rin.

"Kukira kakak belum mau pulang dalam waktu dekat," ujarku.

"Aku merindukan adik-adikku jadi kesini dulu selama beberapa minggu," ujar Rin.

"Duduk dulu kak," ujarku mempersilahkan Rin duduk.

"Iya dek," ujar Rin.

Rin duduk di sofa sementara Shaka malah diam saja diatas meja kerjaku. Aku biarkan saja lagipula dia tidak mengacau sama sekali.

"Anakmu cepat sekali masuk sekolah," ujar Rin.

"Keinginan dia sendiri. Lagipula semua kakak sepupu perempuan kita baru saja memiliki anak," ujarku.

"Mungkin Tuhan sengaja memberimu keturunan duluan agar dia bisa menjaga adik-adiknya kelak," ujar Rin.

"Sepertinya begitu," ujarku.

"Papa kok aku belum punya adik sih?" tanya Shaka.

"Nanti saja ya kalau Shaka berumur sepuluh tahun," ujarku mengelus rambut Shaka.

"Shaka maunya sekarang!" rengek Shaka.

"Kamu masih cengeng nak. Papa takut kamu nanti malah protes kalau papa, dan mama lebih perhatian apabila punya adek bayi," ujarku.

"Yah udah deh. Nanti saja punya adik bayinya," ujar Shaka.

"Ya udah main dulu sana. Ingat jangan mengganggu pekerjaan om dan tante disini," nasihatku.

"Masa aku main sendiri sih," keluh Shaka.

"Adik sepupumu saja masih pada bayi," ujarku.

"Yo abang El dan kak Rin!" pekik seseorang.

Transmigrasi Ello (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang