Aku bukan tipe orang yang peduli dengan peringatan hari-hari tertentu. Kadang aku bahkan lupa kapan ulang tahunku sendiri. Tapi di rumah, ada satu orang yang selalu heboh soal perayaan apapun, dan orang itu adalah adikku, Rasen.
"Abang, ayo beli kado yuk!" pekik Rasen sambil menarik tanganku.
"Kado? Untuk siapa? Perasaan nggak ada yang ulang tahun hari ini," jawabku bingung.
Rasen menggeleng, seolah tidak percaya dengan kebiasaanku yang sering tidak peka. "Ish, abang ini selalu aja lupa. Hari ini hari ibu, tahu!"
"Oh," aku hanya bergumam singkat. Tapi reaksi itu cukup membuat Rasen memukul perutku pelan.
"Kenapa abang dipukul sih?" tanyaku sambil meringis.
"Ayolah, kita beli sesuatu untuk bunda!" seru Rasen dengan semangat.
Tanpa menunggu persetujuanku, Rasen menarik tanganku menuju pintu depan. Saat melewati ruang tamu, aku melihat Aditya sedang duduk bersama Catra. Ada sesuatu yang aneh dari ekspresi mereka, terutama Aditya.
"Dit, hangout bareng yuk," ajakku mencoba memecah suasana.
"El, jangan ikut campur dulu," kata Catra, memberi isyarat agar aku menahan diri.
"Aku cuma mau ngajak Adit jalan-jalan," balasku santai.
Aditya memandang Catra sejenak, lalu berkata, "Papi, aku izin ya."
Namun, Catra menatap tajam. "Dengarkan laranganku, Aditya," katanya tegas.
"Aku mengerti, Papi," jawab Aditya pelan, tetapi dia tetap berdiri dan mengikutiku.
Aku merangkul bahu Aditya dan Rasen bersamaan saat kami keluar rumah menuju mobil. Di perjalanan, aku sadar Aditya lebih banyak diam, padahal biasanya dia akan ikut nimbrung saat Rasen mulai menceritakan hal-hal favoritnya.
"Lu kenapa, Dit?" tanyaku, memecah kesunyian.
"Papi nggak suka aku menyebut nama papa Satria dan mama Marina," jawab Aditya dengan nada sedih.
"Mereka jahat lho sama kakak," celetuk Rasen, spontan seperti biasanya.
Aditya menghela napas. "Sejahat apapun mereka, mereka tetap orang tua angkatku. Mereka sudah menjagaku, walaupun caranya salah."
Aku menatapnya sejenak dari kaca spion, lalu bertanya, "Mau kasih kado buat Nyonya Marina?"
Aditya terlihat terkejut. "Eh, boleh?! Beneran?"
"Tentu saja," jawabku tenang.
Rasen terlihat khawatir. "Bang, papi pasti marah kalau tahu ini."
"Urusan itu biar abang yang tangani. Aditya cuma ingin mengucapkan selamat hari ibu. Menurut abang, nggak ada salahnya," kataku, mencoba meyakinkannya.
Aditya tersenyum lebar, rona wajahnya kembali cerah. Perjalanan yang tadinya sunyi berubah penuh canda tawa dari Rasen dan Aditya. Suara mereka mengisi suasana mobil hingga kami tiba di pusat perbelanjaan.
Setelah perjalanan tiga puluh menit, tubuhku terasa sedikit pegal saat turun dari mobil. Tapi melihat senyum Rasen dan Aditya, aku tahu perjalanan ini akan menjadi kenangan yang berharga bagi kami bertiga.
Rasen dan Aditya memilih kado dengan antusias, sementara aku hanya ikut dalam proses pembelian dan akhirnya membayar semuanya menggunakan black card. Rasanya seperti aku sudah memiliki keluarga kecil, dengan dua anak yang sangat perhatian. Sambil melihat mereka, aku teringat pada pacarku, yang mungkin juga merayakan hari ibu, dan kupikir lebih baik aku tidak mengganggunya hari ini. Pacarku butuh ruang untuk dirinya sendiri.
![](https://img.wattpad.com/cover/317607159-288-k920034.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Transmigrasi Ello (END)
General FictionOthello Pranaja Zayan, atau yang lebih akrab dipanggil Ello, adalah seorang pemuda berwajah tegas dengan sifat dingin, minim ekspresi, dan benci terhadap pengkhianatan. Meskipun tumbuh di tengah keluarga yang harmonis, sifat dingin Ello tak pernah b...