delapan

36 22 1
                                    


.

Berat hati melangkah menuju rumah, setelah kepulangan dari pelatihan sehari semalam. Pagi penuh, diakhir pekan, di hari minggu. Artinya ia harus bersiap siap menonatifkan kembali tubuhnya. Menonatifkan hatinya, menonatifkan emosinya, lidahnya, matanya, pendengaranya, saraf sarafnya dan seluruh yang bergerak ditubuhnya.

Satu langkah setelah membuka pintu ia sudah disambut dengan keping kepingan kemurkaan dari manusia didalam rumah itu yang pasti terjadi semalam penuh.

"Habis dari mana kamu?" intonasi menusuk celah pori-pori ke kulitnya seperti sedia kala.

"Sekolahan"

"Jangan ikut ikutan semacam itu lagi yang nggak penting, beresin semuanya. Mama pulang, rumah harus bersih"

"Iya"

Walaupun semua telah dinonatifkan kakinya masih bisa berjalan karena jiwanya masih berkeliaran didalam tubuh, lidahnya masih bisa bersuara hanya saja sanggup menjawab iya atau tidak dan satu kata lain.

Pengambilan napas panjang yang begitu berat mengontrol netra untuk tidak mendidih seketika. Memasukan keping kepingan kemurkaan ke dalam kantung plastik. Menarik keranjang serta membenamkan perca perca kain yang dilantar oleh pemiliknya yang tidak tahu menahu caranya mengurus diri dengan dasar hidup yang sebaiknya. Tapi, Jika ia ingin makan pasti ingin piring yang bersih dan sendok yang mengkilap. Pakaian tersetrika yang rapi dan wangi yang berada tersusun dilemari. Jika tidak murkanya akan meledak lagi berlipat lipat ganda mengumpat kepada gadis atau perempuan dirumah itu yang katanya tidak berguna.

Menyatukan alat makan dan minum bekas, kotor, menjijikan terkapar disudut sudut netra yang langsung tersorot jejer jejeran semut mengerubung, serta tetesan bulat bulat dari bermacam macam kuah. Remeh nasi mengering keras, potongan bungkus pembuka, abu tembakau yang berkibar, dan lengket lengket permen karet yang manisnya telat habis direkatkan dibawah meja kaca.

Sumpah demi tuhan ia ingin mengumpat para pelaku, menciduh, memotong tangan dan kakinya agar tidak bisa berulah seperti ini lagi atau menyuntik mati lalu mengkremasi melenyapkan dengan seharusnya. Rasanya tidak ikhlas keparat temperamen itu hidup seenaknya di bumi pertiwi.

Waktu terus bergerak begitu cepat bersamaan pergerakan Dara membersihkan, merapikan, kemurkaan manusia yang tidak pantas disebut manusia, gusarnya. Langit terang merubah menjadi lembayung ia duduk dipelataran belakang rumah dengan secangkir air putih dingin ditangannya yang mulai berembun di dinding bagian luar cangkir. Netranya tercermin langit langit keungu unguan, disaat itu ia menerka nerka dunia yang ia dapatkan ini tidak adil, yang diisi kemurkaan, geraman, dan pertempuran yang tiada habisnya, tiada tahu siapa yang akan menjadi pemenangnya, siapa dalangnya, penjajahnya, penghasutnya dan siapa yang akan kalah lalu mati dengan tragis terkeping keping.

~~~

Menekan tombol volume di remote tv sambil mengosok gosok handuk ke rambut sesudah mandii berkeramas setelah tidur yang panjang seharian pinuh. Satu.. dua.. tiga... ting! tepat. Seulas senyum dibalik handuk mendengar suara bel lalu melangkah keluar menuju pintu, sebelum memegang gagang pintu untuk menerima tamu ia perlu memastikan dulu, melihat ke jendela mengibaskan tirai.

Seorang gadis menunduk menendang nendang kecil dibalik pagar menunggu penghuni rumah menerimanya.

"Siapa?" tanya si penghuni dari dalam rumah.
"Dara"

Mengalungkan handuk di leher melangkah membuka pintu berjalan menuju pagar si tamu membawa oleh oleh utamanya dengan seulas senyum merekah tanda ada maksud.

"Kenapa?"
"Numpang makan, dong"
"Mau makan tuh ke warteg, bukan ke rumah teman"
"Jam segini warteg udah tutup, kalo rumah teman pasti buka 24 jam non stop" tutur kata Dara sambil meraih pangait kunci pagar karena si pemilik tidak kunjung membukanya.

mati ditubuh yang tumbuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang