Berbahaya

607 100 5
                                    

5 Oktober 2018

Jumat memang menjadi hari yang saya tunggu, sebab hanya di hari Jumat saja saya bisa bertemu dengan kawan lama semasa SMA. Termasuk Rafiq, yang meski kantor kami berdekatan, tetapi jarang bertemu. Pagi tadi dia menghubungi saya, meminta untuk dijemput sebelum salat Jumat karena mobilnya masuk bengkel.

Saya menunggu di lantai bawah kantornya, katanya dia sedang menuntaskan meeting dengan timnya. Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas lebih seperempat ketika Rafiq keluar dari lift bersama seorang wanita. Seseorang yang selalu menyedot atensi saya ketika raganya mampu saya lihat. Namanya Bintang Azmi Namilla, seorang penulis, founder BaMi juga seperti Rafiq, dan seseorang yang matanya tidak pernah melihat ke arah saya meski beberapa kali bertemu seperti ini.

"Hati-hati ya, Bin. Mas nggak bisa nganterin." Rafiq melambaikan tangannya pada wanita itu.

"Aku lebih seneng kalau nggak dianter Mas Rafiq." Kemudian berlalulah wanita itu tanpa menatap ke arah saya barang sedetik pun.

"Ehem." Saya menoleh kepada Rafiq yang menyenggol lengan saya dengan wajah cengar-cengir.

"Apa?" Bapak baru ini memang kadang absurdnya kelewat batas. Idenya yang selalu di luar perkiraan memang membuat saya sebagai teman dekatnya kadang berdecak.

"Empat tahun kuperhatiin, kamu masih aja suka sama Binta ya?" Kali ini dia membuat mata saya melotot, sejak kapan dia tahu bahwa saya menyukai Binta? Dia terkekeh dan menarik tangan saya untuk berjalan ke tempat di mana mobil saya terparkir.

"Jadi selama ini masih lajang karena nungguin Binta? Tapi kenapa nggak ngambil langkah apa-apa? Memang kamu pikir jodoh datang lewat langit?"

Benar memang, sejak dua ribu empat belas lalu ketika Rafiq mengundang saya ke acara pembukaan dan syukuran platformnya, saat itu pertama kali saya merasakan debaran aneh kepada Binta. Wanita manis yang meski tersenyum kikuk tidak mengurangi keindahannya sedikit saja. Saya yang saat itu berusia dua puluh sembilan tahun dan sedang fokus dengan karir mengabaikan perasaan itu. Namun, tetap saja ketika tak sengaja melihatnya hati saya tidak bisa berbohong.

Apalagi ketika saya tahu ada perasaan lebih yang dirasakan Rafiq kepada Binta. Tentu saya cukup tahu diri, sebab mereka berdua terlihat sangat dekat sekali.

"Saya juga bukannya nggak tahu, kamu punya perasaan ke Binta sebelum nikah sama Irma. Iya, kan?" Rafiq menoleh ke arah saya, kali ini matanya yang melotot, membuat saya tersenyum mau tidak mau.

Dia mendesah panjang dan mengangguk-angguk. "Dan kandas." Saat ini kami berdua sudah berada di dalam mobil saya.

"Kamu udah nyoba nyatain perasaan?" Saya cukup terkejut akan kenyataan itu walau sudah menduga. Maksudnya, mereka berdua bahkan tetap terlihat baik-baik saja tanpa ada yang berubah. Ya, tentu saya bisa tahu jika Rafiq cukup dewasa untuk itu.

"Awal tahun lalu." Rafiq tersenyum getir, saya menjalankan mobil untuk keluar dari pelataran parkir karena waktu terus bergulir. "Dan ditolak."

"Saya bisa tebak, kok. Karena kalau diterima kamu nggak akan nikah sama Irma. Yang saya mau tahu, kenapa Binta menolak kamu? Padahal kalian, kan, dekat. Saya tanya begini karena mau tahu, barangkali ada alasan yang membuat dia nggak mau menjalin hubungan. Jadi saya nggak perlu berusaha karena jelas-jelas nggak ada harapan."

Rafiq menepuk pundak saya sekali. "Salah." Dia menggeleng-geleng. "Terlepas Binta suka atau enggak sama kamu, itu, kan, urusan belakangan. Justru kamu yang harus buat kesempatan itu, Cah. Jadi pemicu dan buat Binta berpikir ke arah sana."

Saya merasa ucapan Rafiq ada benarnya, menyadarkan pikiran salah selama ini.

"Mungkin ada alasan yang aku sendiri nggak tahu." Kami saling bertatapan dan pada detik ini terbitlah alasan saya untuk membenarkan seluruh ucapan Rafiq; saya harus mendekat dan membuat Binta sadar dengan eksistensi saya. Alih-alih menunggu sampai Binta terlihat siap, yang bisa jadi saat dia siap, bukan saya yang di sampingnya.

Mengejamu (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang