Aku tidak sengaja bertemu dengan Mas Rafiq di koridor, saat sedang buru-buru turun begitu Mas Cahya bilang sudah sampai di lantai bawah. Di sinilah aku sekarang, di sebelah orang tercerewet yang pernah kutemui. Sedang menatapku dari atas sampai bawah dengan pandangan menilai.
"Ada kemajuan ya?" Tuh, kan, akhirnya kalimat yang sudah kuduga itu keluar dari bibirnya.
"Nggak seperti yang Mas Rafiq pikirin kok."
"Emang apa yang Mas pikirin, Bin?" Alisku refleks terangkat naik. Betul juga ya, Mas Rafiq belum mengatakan apa-apa, dasar curang! Aku hanya bisa merutuk dalam hati dan tetap bersikap setenang mungkin agar pikirannya tidak semakin liar.
"Cahya bilang kamu belum berani bawa mobilnya." Sekarang dia terdengar serius. "Mas tahu, sih, kamu beli mobil itu atas saran Mas. Tapi kalau kamu belum bisa dan nggak berani, jangan memaksakan diri ya?" Wajahnya terlihat sedih, dia mengelus kepalaku tiga kali sebelum pintu lift terbuka dan kami sama-sama turun.
"Binta!" Seseorang memanggilku, suara yang kini menjadi favoritku. Namun, tentu bukan di saat seperti ini. Jarak kami lumayan jauh dan dia berteriak sembari melambaikan tangan. Beberapa orang yang kukenal dan mengenalku menatap kami bergantian. Mas Cahya cukup tampan untuk dipamerkan, tetapi aku tidak cukup suka untuk menjadi pusat perhatian.
Aku buru-buru mendekat ke arahnya dan menepuk lengannya pelan. "Mas Cahya, kan, aku udah bilang jangan mengundang perhatian orang." Dia malah tertawa dan membuatku semakin kesal, tetapi suka, duh.
"Nggak tahu ya, Bin, saya suka cara kamu ngingetin saya begitu kemarin. Jadi saya coba lagi."
Nah, kan? Sungguh ya, dia itu curang sekali melakukan permainan ini. Untung saja dia tidak tahu kalau aku mendamba tawa dan matanya, jika tahu mungkin Mas Cahya akan memakai asetnya itu secara brutal.
Dia menundukkan kepalanya sampai dekat dengan kepalaku. "Kamu nggak lupa, kan, kalau saya lagi dalam perjalanan?" Kalimat itu sukses membuat pipi ini menghangat. Tiba-tiba aku ingin tahu, apa yang dia suka dariku sehingga bisa kupakai untuk membuatnya salah tingkah. Namun, belum sempat pertanyaanku terlontar Mas Rafiq datang memukul lengan Mas Cahya. Seketika aku sadar tadi turun bersamanya.
"Lupa sama temen, Cah? Bertahun-tahun kamu sering ke sini, biasanya juga aku yang dipanggil. Sekarang Binta bikin kamu lupa ya?"
"Bosen manggil kamu, Fiq."
"Sialan!" Mereka terkekeh-kekeh. Pada detik ini aku memikirkan sesuatu, apakah kedatangan Mas Rafiq dulu itu adalah jembatan menuju pertemuanku dengan Mas Cahya? Benarkah ini takdir seperti yang Mas Cahya katakan, atau ini hanya pertemuan singkat? Aku masih ragu, sungguh, karena jika Mas Cahya meminta tujuan dari kedekatan kami, maka aku tidak bisa memberi apa pun. Aku ragu bisa memberinya, bukankah pada saat itu berarti hubungan kami akan selesai?
"Bin." Mas Cahya melambaikan tangannya di depan wajahku, ternyata tadi aku melamun.
"Eh, maaf, Mas. Aku tadi kepikiran sesuatu." Dia tersenyum, seperti amat tahu apa yang membuatku melamun.
"Nggak apa-apa, itu karena saya belum jadi penyusup yang berhasil."
Kalimatnya itu mampu membuat hatiku berharap, mengamini, dan menunggu. Semoga saja, Mas, semoga saja kamu menjadi penyusup yang berhasil. Bila ini memang takdir, aku akan menunggu jawabannya. Bila ini memang takdir, seperti Mas Rafiq yang menjadi jembatan kita berdua bertemu, barangkali kamu menjadi jembatan untukku membuka hati.
"Ehem." Dehaman Mas Rafiq membuat tautan mata kami terputus, dia menggeleng-geleng menatap kami berdua. "Wah nggak bener nih, duh Mas patah hati lho, Bin. Kamu menduakan Mas begitu, padahal selama ini Mas satu-satunya yang kamu tatap selama itu. Udahlah Mas pulang aja minta ditatap sama Mbakmu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengejamu (Completed)
Romans(Jumlah kata per bab ada yang panjang, jadi jumlah bab sedikit) Binta bertemu Mas Cahya, pria berusia lebih dari tiga puluh tahun yang ternyata selama ini diam-diam menyukainya. Dia pikir Mas Cahya sama seperti pria lain yang hanya mendekat jika dib...