Aku persis berada di depan rumah masa lalu. Kali ini kakiku benar-benar menginjak tanah yang dulu pernah kuinjak. Rasanya tanah ini bergetar, bumi bagian rumah ini terasa berguncang-guncang dan aku kembali merasakan mual. Mual yang tidak lagi bisa kutahan, karena itu secara refleks kakiku mundur beberapa langkah, aku sudah membalikkan badan dan hampir pergi. Namun ...
Seseorang di depan sana membuat guncangan dan rasa mual tadi hilang, membawaku melaju turun melalui perosotan terpanjang. Seketika itu waktu terasa melaju sangat cepat dan juga berhenti dalam, karena tidak ada yang lain selain fokus kepada satu orang di depanku ini.
Bulan.
Gadis itu menatapku dengan mata berkaca-kaca, tubuhnya makin lama makin bergetar. Mungkin bumi bagian pijakannya berguncang sama seperti apa yang kurasakan tadi. Namun, dia tidak pengecut sepertiku yang hampir melarikan diri, lagi.
Aku sedikit terkejut ketika dia terduduk dan tergugu di sana, suara tangisnya terdengar sampai telingaku. Tidak keras, benar-benar lirih, tapi gemanya mengitari seluruh tubuhku, ngilu sekali mendengarnya. Kurasa dia tidak ingin melihatku, sepertinya kehadiranku tidak diinginkan di sini, di tempat yang juga tidak kuinginkan dan kurindukan sekaligus.
Lucu sekali semesta memasangkan segala sesuatu yang berlawanan di hidupku.
"Maaf." Hanya kalimat itu yang bisa kulepaskan dari bibir. Dia menggeleng-geleng, sedangkan aku mengangguk-angguk paham, bahwa maaf yang kulontarkan tadi justru menyakiti hatinya. Aku melangkah mendekat. Sebentar saja, tolong biarkan jariku menyentuh dan merasakannya. Bila setelah ini dia tidak memperbolehkanku sekadar menatapnya, aku akan pergi jauh dan tidak akan lagi kembali.
Kami semakin dekat, aku jongkok di depan adik kecilku yang sekarang sudah menjadi gadis dewasa. Cantik, parasnya benar-benar malaikat. Sejak kecil aku tahu dia akan tumbuh sebagai perempuan cantik berambut panjang yang lurus dan halus. Rambut itu masih sama seperti dulu, selain warnanya yang semakin merah di ujung-ujung. Aku ingat rambut ini adalah warisan dari papanya, papanya yang berambut hitam, tebal, dan lembut.
Gen yang berbeda turut membuat kami tidak serupa.
"Bulan." Aku mengulurkan tangan ke atas kepalanya dan perlahan-lahan kusentuh kepalanya, aku menyentuh rambut halus adikku, sesuatu yang hangat dan perih menyentuh dinding hatiku. Aku terkejut sekali lagi ketika Bulan dengan tiba-tiba menggenggam tanganku. Kepalanya mendongak, matanya yang basah menatapku. Perlahan dia membawa tanganku ke depan bibirnya dan mengecupnya.
Aku merasa dunia runtuh saat ini, tetapi tidak runtuh menjadi debu, melainkan menjadi warna yang baru. Menjadi lebih berwarna dan indah. Air mataku tumpah sekarang, ruah, aku menangis dan tertawa sekaligus. Tadi kukira dia tidak ingin melihatku. Bulan menubruk tubuhku dan menangis tertahan dalam pelukan kami. Aku hampir saja terjatuh.
"Mbak." Suaranya bergetar. Aku tahu apa yang ingin dia katakan, aku mengangguk. Mbak juga rindu kamu, Bulan. Kubiarkan ia menangis. Kubiarkan diriku menangis. Kubiarkan seluruh perasaan di hatiku berganti-ganti sesuka hati, aku sedang tidak punya waktu untuk menamai mereka. Aku sedang sibuk memeluk adik kecilku ini.
Adik yang membawakan minum dan makan dari dapur untukku ketika aku jatuh sakit. Adik yang menangisi diriku ketika aku sakit sampai tidak sanggup membuka mata. Jangan mati katanya dulu, aku tersenyum mengingatnya, tetapi air mataku semakin banjir.
Mbak masih hidup. Sekarang memelukmu.
"Mbak." Sekali lagi dia berusaha bersuara, suaranya makin bergetar. "Jangan pergi."
Jantungku sekali lagi seperti dihantam benda keras, perasaan bersalah menjalari seluruh tubuh. Bila sejak pergi dari rumah ini aku mati rasa dan malam-malam terasa menyakitkan, juga sesekali mimpi buruk datang. Bagaimana dengan Bulan? Kenapa aku tidak memikirkannya ketika pergi dulu? Aku benar-benar egois dan hanya memikirkan lukaku sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengejamu (Completed)
Romance(Jumlah kata per bab ada yang panjang, jadi jumlah bab sedikit) Binta bertemu Mas Cahya, pria berusia lebih dari tiga puluh tahun yang ternyata selama ini diam-diam menyukainya. Dia pikir Mas Cahya sama seperti pria lain yang hanya mendekat jika dib...