Dadaku sesak mengingat itu semua. Marah, kecewa, sedih, rindu, dan penyesalan bersatu padu memorak-perandakan hati, hal itu membuatku mual. Tangis ini tidak bisa kuhentikan, aku tidak bisa merasakan diriku, tidak bisa mengontrol diriku, seperti sedang terseret mesin waktu tanpa bisa menghindar.
Syukur tidak lama setelahnya suara dering ponsel memutus arus itu. Aku megap-megap seperti habis diangkat dari lautan. Kutekan-tekan dadaku yang sakit, benar-benar sakit, dadaku seperti kemasukan air, ada rasa perihnya.
Tanganku meraba-raba tempat di mana tadi kuletakkan ponsel dan mengangkatnya tanpa melihat siapa yang menelepon, tidak ada daya untuk itu. Kutekan layar tempat tombol loudspeaker biasa berada.
"Kamu nggak berangkat ya hari ini? Saya ke BaMi dan mereka bilang kamu nggak masuk."
Aku tercekat, ingin menjawab, tetapi takut yang keluar justru suara aneh karena baru saja pulang dari masa lalu.
"Bin?"
Namun, aku tidak punya pilihan, aku ingin mendengar suaranya lebih lama. "Aku ... aku izin, Mas."
"Bin. Suara kamu kenapa?"
"Aku nggak apa-apa." Kutahan sekuat mungkin sesak yang ada di dada.
"Saya ke sana ya?"
"Jangan!" Suaraku memekik dan aku terkejut mendengarnya sendiri. "Maksudku, aku mau ke Solo. Mas Cahya nggak akan nemuin aku di rumah."
Dia diam sejenak. "Jadi kita bisa ketemu di Solo?"
Aku terdiam, sebetulnya aku tidak tahu kenapa ingin ke Solo, tetapi aku lebih tidak ingin pulang ke rumah. Aku ingin menemui manusia dan mengajaknya berbicara. Bukan Mas Cahya tentu, dia akan membuatku kehilangan kontrol dalam keadaan lemah hati begini.
Mama.
"Aku mau ketemu Mama, Mas."
"Oke. Kalau ada apa-apa kabari saya ya?"
"Iya."
Kulihat sekali lagi rumah itu lamat-lamat, kuakui bahwa hari ini aku belum siap. Aku mengerti kesiapan ada karena dibentuk, tetapi rasanya bukan hari ini, aku tidak sanggup. Kulajukan mobil ke awal jalan sepertiga ini dan berbelok kanan ke arah Solo. Rasanya saat ini aku ingin terbang dan lekas sampai tujuan. Sesak ini butuh disadarkan bahwa ia tidak di tempat yang semestinya, tidak seharusnya tinggal lama-lama dalam jiwaku.
Aku tidak menghubungi Mama bahwa akan berkunjung, tetapi beliau pasti senang aku datang, yang kubutuhkan hanya senyum Mama di detik pertama melihatku, seolah aku adalah manusia paling beruntung karena memiliki seseorang yang selalu menantikan kehadiranku. Kurasa itu cukup untuk mengusir rasa sesak ini. Semoga. Kuharap rasa sesak ini tahu diri.
"Assalamualaikum."
Kakiku bergerak tidak sabar sembari mengetuk rumah Mama. Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan, sembi ...
"Binta?"
Aku dan orang di depanku ini sama-sama terkejut. "Kok di sini?" Ekspresinya semakin tidak karuan ketika melihat wajahku yang sembap dengan hidung yang pasti merah dan sedikit berair.
Aku tidak menjawabnya. "Mama mana?"
"Mama di kamar, lagi nggak enak badan makanya Mas ke sini sebentar buat jenguk." Mas Rafiq membiarkanku masuk ke dalam. "Sebentar, Bin." Ia mencekal lenganku.
"Jawab dulu. Kamu kenapa?" Mata kami bersinggungan, seluruh perasaan ingin kumuntahkan pada detik ini, tetapi aku tidak menemukan keyakinan untuk berbicara pada pria di hadapanku.
"Aku mau ketemu Mama."
Dia mengembuskan napas berat, melepaskan tangannya dari tanganku. Tatapannya mempersilakan untuk melakukan kemauanku. "Mas balik ke kantor, kalau bisa kamu nginep di sini ya." Dia berteriak ketika kakiku menyentuh dua tangga pertama rumah ini. Tidak kujawab, aku terus melangkah. Tujuanku sekarang jauh lebih penting, Mama yang sakit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengejamu (Completed)
Roman d'amour(Jumlah kata per bab ada yang panjang, jadi jumlah bab sedikit) Binta bertemu Mas Cahya, pria berusia lebih dari tiga puluh tahun yang ternyata selama ini diam-diam menyukainya. Dia pikir Mas Cahya sama seperti pria lain yang hanya mendekat jika dib...