Melanjutkan

333 60 0
                                    

Binta benar, ini tidak masuk akal, bagaimana saya bertindak impulsif seperti ini? Mendatangi rumah seseorang hanya karena saya adalah kekasih dari salah satu yang pernah menghuni rumah ini. Walau begitu saya tidak berniat untuk kembali lain kali, sebab belajar dari bagaimana saya menahan diri selama ini terhadap keinginan mengenal Binta; semua yang bertakdir akan mengalir ke tempat yang sama, dan keputusan manusia selalu membuat jawaban tersebut datang jauh lebih cepat. Akankah jawaban yang datang iya atau tidak.

Iya dan teruskan, tidak dan putar arah untuk kemudian mencari cara lain. Pada kasus Binta, saya ingin tahu apakah ada jawaban iya tersembunyi di rumah ini, atau saya harus membantu Binta untuk tidak berharap pada jawaban 'iya' supaya sembuh.

Saya tahu betul, seseorang yang masih kecewa dan sedih itu disebabkan oleh perasaan tidak terima saat menemui jawaban tidak. Binta masih mengharapkan jawaban iya. Itulah kenapa saat ini saya di sini, karena berdasarkan cerita Binta, ia belum membiarkan ibunya memberi jawaban yang jelas. Karena dia tidak berani menyelesaikan akhir dari pencariannya. Ia terlampau takut jawaban 'tidak' bukan hanya ada pada asumsinya, melainkan ada pada kenyataan itu sendiri.

Saya tidak ingin ia terus tinggal di ruang bernama keraguan, ruang yang sudah ia huni selama belasan tahun seorang diri. Saya mau Binta keluar, menyambut matahari, menyambut saya juga.

Perlahan saya ketuk rumah yang pintunya terbuka sedikit ini, dengan berdebar menunggu seseorang muncul dan saya berharap Bulan yang pertama kali keluar. Namun, sepertinya semesta ingin memberi saya jawaban jauh lebih cepat, seorang wanita yang saya taksir usianya separuh abad, keluar dan bertanya saya sedang mencari siapa.

"Perkenalkan, Bu." Saya mengulurkan tangan untuk menyalaminya. "Saya Cahya, teman pria Binta."

Matanya sempat membola sebelum kemudian menyebut panggilan lain dari Binta. "Bintang ya?" Saya mengangguk. Setelahnya wanita itu justru mengerutkan dahi. "Ada apa ya?"

Terang saja ia kebingungan saat ini.

"Boleh saya meminta waktunya, Bu?"

"Iya iya, silakan masuk." Wanita itu mempersilakan saya masuk dan duduk di ruang tamu. Saya mengedarkan pandangan melihat rumah ini, tidak tampak jejak bahwa seorang Binta pernah tinggal di sini. Ibunya Binta baru saja kembali dari belakang membawa minum, lalu duduk dan bertanya apa yang ingin saya bicarakan sembari mempersilakan saya minum.

"Sebelumnya saya ingin memperkenalkan diri sebagai teman dekat Binta, Bu."

Beliau tersenyum. "Kenapa kamu mau dengan Bintang?"

"Karena bagi saya Binta indah, Bu."

"Oh ya? Kita punya pemikiran yang sama, sejak dulu saya berpikir Bintang itu surga." Beliau tertawa kecil kepada saya.

"Surga?"

"Iya. Tempat di mana saya ingin pulang, tapi sayangnya jalan yang saya pilih justru neraka. Jadi saya nggak bisa pulang."

Saya terenyuh mendengarnya, mata beliau menunjukkan ketulusan, kerinduan, dan penyesalan. Sebetulnya ibu dan anak ini memiliki sorot yang sama saat menceritakan satu sama lain. Namun, milik Binta terkadang disamarkan oleh amarah, hati Binta dilumat amarah sehingga dia sendiri tidak tahu perasaan mana yang harus ia percaya.

"Bu." Entah kenapa saya tergerak untuk menyentuh tangan beliau. "Manusia sama sekali tidak punya ilmu atas kalkulasi Allah. Ilmu manusia terlalu kecil untuk tahu apakah ini benar atau salah, ini dosa atau pahala."

Beliau tersenyum lagi, melepaskan tangannya dari genggaman tangan saya dan balas menggenggam. Beliau menepuk-nepuk pelan punggung tangan saya. "Terima kasih. Jujur saya sangat membutuhkan kalimat itu selama sebelas tahun ini."

Mengejamu (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang