Sudah berhari-hari sejak terakhir kali Binta bisa dihubungi, dia menghindari saya sejak kami bertemu dengan ayahnya. Bahkan beberapa kali bertemu di BaMi saja dia hanya menyapa basa-basi, tersenyum singkat, lalu menjauh. Dia memperlihatkan diri yang baik-baik saja, tetapi saya tahu dia tidak sedang dalam kondisi baik. Saya membiarkannya karena dia berhak mengambil waktu sebanyak yang ia perlukan. Mobilnya saja bahkan saya titipkan kepada Rafiq untuk dikembalikan.
Namun, ternyata hati tidak bisa bohong, saya gelisah bukan main. Waktu menjadi demikian lambat dan menyiksa, terlebih ketika mengingat bagaimana kali terakhir Binta menangis di mobil dan bertengkar dengan ayahnya. Saya memang jadi mengetahui beberapa hal tentangnya, tetapi itu justru membuat saya semakin ingin tahu. Lebih dari apa pun sebetulnya saya sangat ingin merengkuhnya, ingin membuatnya tahu bahwa tak apa-apa mengurai rasa sakit yang ada di hatinya.
Saya ingin menyentuh luka itu dan mengobatinya, atau memang bila tidak bisa, saya ingin membuat Binta mau mengobati lukanya. Saya tidak sanggup membayangkan Binta menjalani hari membawa luka. Bagaimana dia hidup selama ini? Bagaimana caranya bertahan, sedangkan saya baru begini saja sudah hampir menyerah dan ingin menemuinya.
"Kamu berantakan banget, Cah." Rafiq mengulurkan susu stroberi kesukaan saya dan menyesap kopinya. "Cinta bikin gila ya?"
Saya tertawa, menertawakan diri sendiri yang bisa seperti ini. "Dulu saya baik-baik saja mengagumi dia, Fiq. Sekarang kenapa jadi begini?"
"Itu artinya kamu semakin sayang sama dia. Wajar, Cah." Rafiq terdiam beberapa saat sebelum melanjutkan ucapannya. "Kamu bilang kamu ketemu ayahnya, kan?"
Saya mengangguk.
"Baru satu bulan dekat aja kamu sudah tahu sedikit dari masalahnya, aku yang sudah lima tahun kenal dia saja nggak tahu sama sekali." Dia menghela napas dan menyandarkan punggungnya ke kursi. Kami saat ini ada di kafe dekat BaMi, sebetulnya saya yang memanggil Rafiq. Rasanya lama-lama saya bisa gila bila tidak menceritakan perasaan ini. Orang yang paling tepat adalah Rafiq, sahabat sekaligus orang yang dekat dengan seseorang yang membuat saya segelisah ini. Barangkali saya bisa mendapatkan informasi kabar terbaru wanita itu.
"Gimana kabar Binta?" Saya akhirnya menyesap susu yang dibelikan Rafiq.
"Nggak lebih baik dari kamu. Kalian sama-sama aneh. Yang satu menghindar yang satu nahan diri buat ngasih waktu. Kalau sama-sama suka kenapa serumit ini, sih?"
Saya hanya bisa meringis.
"Berat ya?" Saya tidak tahu apa yang dimaksud Rafiq berat, karena semuanya sama-sama berat. Masalah Binta, hubungan kami berdua, atau rindu ini?
"Saya pengen dia sembuh." Lirih, saya saat ini hanya ingin mengatakan apa yang saya rasakan saja. "Saya nggak bisa lihat dia tersiksa begitu, Fiq. Saya lihat sendiri gimana dia nahan sakit selama ini."
Lagi-lagi Rafiq menghela napas. "Aku ngerti kenapa dulu harus ditolak Binta." Saya menatap Rafiq yang tersenyum. "Binta memang harus ketemu kamu, Cah. Orang yang mau nyembuhin perasaannya, walau itu juga bikin kamu sakit dan risikonya hubungan kalian jadi seberat ini. Kalau aku, aku tahu dia nggak baik-baik aja, tapi lihat dia kelihatan baik-baik aja itu sudah cukup. Aku nggak keberatan dia nggak akan cerita masalahnya atau hidup selamanya sama luka itu. Asal dia baik-baik aja di sebelahku, itu cukup. Padahal kayak gitu nggak nyelesaiin masalah. Cintaku ternyata egois buat Binta."
"Binta nyaman sama aku, tapi dia butuhnya seseorang yang bisa membantunya menerima masa lalu. Aku berharap Binta sembuh cepat atau lambat, aku titip Binta ya?"
Rafiq berdiri dan melambaikan tangan ke sesuatu di belakang saya. Begitu menoleh, saya terkejut karena Binta sedang mendekat ke arah kami dan sama terkejutnya dengan saya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengejamu (Completed)
Romance(Jumlah kata per bab ada yang panjang, jadi jumlah bab sedikit) Binta bertemu Mas Cahya, pria berusia lebih dari tiga puluh tahun yang ternyata selama ini diam-diam menyukainya. Dia pikir Mas Cahya sama seperti pria lain yang hanya mendekat jika dib...