Rumah Binta

309 65 0
                                    

Langit-langit kamar ini walau masih seasing biasanya, tetapi memberikan sensasi yang berbeda. Bibirku menyungging seulas senyum, dada berdebar hanya dengan menyadari sekarang ini seseorang sedang tidur di bawah. Ada manusia lain yang terbangun di pagi hari selain aku di rumah ini untuk pertama kali. Dia adalah seseorang yang kucintai. Aku menyibak selimut dan merapikan tempat tidur, berganti baju dengan baju olahraga. Tak peduli saat ini sudah pukul setengah delapan, tak peduli aku melewatkan rutinitas yang sudah kulewati beberapa kali sejak mengenalnya. Aku tetap melangkah turun ke bawah dengan ringan. Sebab nampaknya aku bisa menggantikan perasaan lega itu dengan cahaya yang lain.

Iya, dia Cahaya.

Aku turun perlahan supaya tidak mengganggu tidurnya, Mas Cahya tidur di ruang tengah dengan alas seadanya ditemani bantal dan selimutku. Namun, ketika aku sudah di bawah Mas Cahya tidak ada di tempatnya. Alas yang ia tiduri juga sudah tertata rapi di atas sofa ruang tamu. Tidak mungkin dia pulang tanpa memberitahu, kan?

Mataku menjelajah seluruh ruang tengah ini, barangkali dia sedang di kamar mandi? Namun, tidak ada suara apa pun dari dalam. Aku melangkah ke sebelah rumah, tempat di mana biasanya aku menunggu cahaya matahari setiap hari. Ternyata di sana Cahaya-ku berada. Berdiri dengan dua tangan di belakang tubuhnya. Aku mendekat perlahan, tepat di sisinya, kupandangi dia yang sedang memejamkan mata.

"Sudah bangun, Bin?" tanyanya tanpa membuka mata.

Aku mengangguk walau mungkin dia tidak bisa melihatnya. Mataku tetap memandang wajah pria di sampingku ini. Menghayati tiap lekuknya baik-baik, keindahan yang ditangkap retinaku adalah milikku. Perasaan ini juga milikku, bersamaku, dan benar-benar ada. Sekali lagi kuyakinkan diri ini bahwa aku hidup pada saat ini, mengapa juga harus mengkhawatirkan apa yang belum terjadi?

Aku sering membaca sebuah buku yang mengatakan bahwa hidup ini bukan milik siapa-siapa. Hidup adalah sesuatu yang paling independen. Manusia tidak memilikinya, bahkan walau menjalaninya. Sebab hari kemarin tidak bisa direngkuh dan masa depan tidak bisa dikejar. Manusia hanya diberi kesempatan menjalani saat ini, hanya saat ini. Tiba-tiba aku ingin berterima kasih kepada penulis yang membuat buku itu.

"Saya tahu kenapa kamu bersikeras pulang pergi sejauh ini. Saya juga bakal lakuin itu kalau punya rumah senyaman ini."

"Di sini emang tempat di mana aku biasanya nunggu matahari terbit. Asal Mas Cahya tahu, aku belum pernah melewatkannya satu kali pun sebelum kenal Mas." Aku mulai mendekat ke tempat di mana barbel-barbelku berada.

"Hari ini pengecualian?"

Aku mengangguk. "Karena aku punya cahaya yang lain, nggak perlu nunggu pagi." Dia tertawa, barangkali terkejut dengan rayuanku baru saja. Namun, walau ada unsur merayu, kalimat itu sangat jujur dari dalam hati.

"Tapi bukan itu sih, Mas, alasanku bertahan selama ini." Aku kembali mencari matanya dan menautkan tatapan kami. Kuhela napas berat, tadi malam kami sudah saling setuju bahwa akan mengenal satu sama lain. Tak peduli selambat apa pun prosesnya, dia bahkan meyakinkanku bahwa perasaannya bukan sesuatu yang menyakitkan. Bahkan ketika dulu aku tak pernah tahu dia ada, dia mengaku perasaannya justru membuatnya semangat menjalani hari dengan sepotong harapan, "Semoga Binta masih sendiri sampai waktu mempertemukan kami." Begitu katanya dan tadi malam kami menertawakan itu besama-sama.

Kuceritakan juga bagaimana aku terkesima dengan mata dan tawanya sejak menabraknya hingga terjatuh, di pertemuan pertama kami dalam ingatanku. Tentu Mas Cahya terkejut mendengar kenyataan itu, jika tahu begitu, tak peduli sekeras apa pun aku menjauh, dia tidak akan pernah peduli dan tetap mendatangiku. Dia menjauh hanya karena mengira aku tidak merasakan hal yang sama, dan memaksakan perasaan adalah tindakan amoral.

Semalam aku yang menawarinya untuk menginap, aku juga yang mengusulkan padanya untuk libur satu hari dari pekerjaan kami, dia setuju dan mengabari rekan kerjanya bahwa hari ini akan bekerja dari rumah. Aku juga sudah izin Mas Rafiq, dia memberi izin dan memintaku istirahat dengan tenang tanpa memikirkan pekerjaan dulu.

"Kalau kamu belum siap cerita, jangan memaksakan diri."

"Nggak akan pernah ada kata siap, Mas, kalau nggak dilakukan."

Mas Cahya memandangiku tanpa berkata apa-apa. Aku tahu dia cukup sabar untuk berjalan ke duniaku, tetapi aku ingin berlari saat ini. Aku tidak ingin menyia-nyiakan efek dari euforia yang kurasakan. "Alasannya ya karena aku berharap seseorang tahu ke mana buat nyari aku, Mas."

"Napas, Bin." Aku bahkan tidak sadar sudah menahan napas.

"Beberapa minggu ini saya maunya ke sini, nyari kamu. Tapi nggak saya lakuin walau saya tahu persis di mana kamu tinggal. Bukan karena saya nggak sayang atau nggak mau, tapi saya pikir kalau dateng justru bikin kamu nggak nyaman atau bahkan nggak suka."

Aku mendongak, kalimatnya benar-benar mengentak kesadaran. Kenangan sebelas tahun ini ketika aku terus menanti dengan bodoh datang silih berganti. Saat musim hujan aku berdiri di depan rumah dan memainkan airnya sembari berdoa di belahan tempat yang lain, seseorang mampu merasakan rinduku. Saat musim kemarau aku menyiram tanah dengan air supaya uapnya sampai ke tempatnya dan membisikkan rinduku padanya.

Bodoh.

"Mau saya peluk?" Dia menawari dengan tiba-tiba. Aku menggeleng.

"Mau olahraga, Mas."

"Kamu emang kuat ya, Bin." Aku tidak tahu maksud dari kata kuatnya, tetapi aku mengangguk saja dan segera meregangkan tubuh. Dia setia di sana, menungguku sembari sesekali mengomentari bagian-bagian rumah ini.

"Kamu emang sengaja nggak menuhin rumah sama barang-barang?"

"Soalnya makin banyak barang dadaku makin sesak, Mas. Hawanya sumpek, tapi hampa. Tapi ada ruangan yang penuh juga kok di rumah ini." Aku menunjuk atas. "Ruang bacaku, penuh sama buku. Hampir menuhin semua dinding." Mas Cahya memang belum menginjakkan kaki sama sekali ke lantai atas. Dia menghormati privasiku dan tidak mau tergesa-gesa masuk terlalu dalam. Bahkan ketika kutawari tidur di ruang baca yang setidaknya ada bean bag, dia tidak mau.

Katanya, ada banyak hal yang bisa dia pelajari tentangku dari lantai bawah. Betapa aku suka sunyi dan sendiri, aku suka barang-barang yang bisa kugunakan sehari-hari dan tidak memiliki apa yang tidak bisa kugunakan, lalu satu hal yang baru dia ketahui yaitu aku suka memasak. Dia memuji kitchen set yang kubeli setelah buku kedua cetak ulang kelima.

Satu lagi yang dia sadari.

"Jadi, kapan kamu punya waktu buat belanja dan nyusun belanjaan itu di kulkas?"

Aku suka memasak sejak lama, sepertinya sejak SMP. Di daerahku yang dulu atau sekarang tidak ada makanan yang kulihat di buku dan makanan yang ingin kumakan, jadi aku mempelajari cara memasak makanan-makanan itu, yang sebetulnya cukup sederhana dan tidak memakan waktu lama seperti memasak makanan tradisional. Walau beberapa memang ada yang lumayan lama dan rumit juga.

Kegemaran memasak semakin menjadi ketika kutemui bahan-bahan yang tidak ada itu.

"Jumat sepulang kerja. Sabtu Minggu, kan, aku libur. Ada sedikit waktu buat dipakek nyusun meal prep. Sebetulnya ya karena aku males belanja setiap hari dan itu makan waktu, sedangkan kalau dijumlahkan waktunya bisa dipakai buat kegiatan lain."

"Secara nggak sadar, kamu berlaku seperti mencintai seluruh kehidupanmu dengan baik. Nggak semua orang bisa begitu, Bin."

Aku tertawa mendengarnya, itu memang sempat terlintas di pikiranku. "Karena walau gimanapun, aku juga takut mati sebelum dapetin jawaban apa-apa, Mas." Kurasa itu tidak lucu baginya, aku berhenti tertawa ketika dia menatapku serius. Aku meringis dan dia hanya mengembuskan napas berat.

***

Jujurly, ehem, aku suka sama Mas Cahya lebih dulu sebelum Binta. Kenapa dia manis banget?

Oke, hehe, selamat membaca dan semoga hari Seninmu menyenangkan.

22 Agustus 2022/7.16 AM

Mengejamu (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang