Sempurna

129 24 5
                                    

Aku memimta padaTuhan setangkai bunga segar
Dia memberiku sebuah kaktus yang berduri
Aku meminta pada-Nya seekor binatang yg mungil
Dia malah memberiku seekor Ulat berbulu
Aku protes dan merasa ini tidak adil
Namun perlahan.....
Kaktus itu pun mulai berbunga indah
Sangat indah malah
Dan ulat itu berubah menjadi seekor kupu-kupu
Seekor kupu-kupu yang Sangat cantik
Baru kusadari...
Itulah rahasia Tuhan sebenarnya....
Semuanya akan indah pada saatnya
Dan Dia....
Tidak memberikan apa yang aku harapkan
Melainkan memberikan apa yang aku butuhkan
Seperti aku yang membutuhkanmu
Hadirmu untuk di sampingku
Saat ini dan mudah-mudahan untuk selamanya

-------------------------------------------

Ku tarik sudut bibirku hingga membentuk sebuah senyum untuknya setelah ku baca sebuah surat berwarna jingga di tanganku. Mungkin lebih tepatnya bukan sebuah surat, melainkan sebuah puisi. Dan aku rasa, ini adalah pertama kalinya aku memberikan senyum semanis itu untuknya setelah tiga tahun aku menjalin hubungan dengannya. Dia masih seperti dulu, nyaris tidak berubah. Membalas senyumku dengan tatapan penuh kasih.

"Ini apalagi?" tanyaku.

"Boleh aku duduk di dekat kamu?" tanyanya.

Kugeser tubuh, memberi ruang untuknya di sampingku. Ia pun duduk di sampingku, mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Aku nyaris tak percaya. Sebuah cincin berbentuk hati terulur di depanku.

"Menikahlah denganku, Cinta!" pintanya.

"Oh, my God ...! Kamu becanda, kan?" Aku masih tak percaya.

"Menurut kamu?" Dia balik bertanya.

"Oh, Bhisma ...! Ini berlebihan. I can't!"

"Why, my love? What's wrong?"

"Aku lagi nggak ingin becanda!"

"Dan aku tidak mau becanda untuk kamu, Cinta ...!"

Ku coba mencari jawaban lewat sorot matanya. Sorot mata yang selalu berbinar setiap melihatku. Sorot mata yang kadang meredup setiap kali kuhaturkan tuduhan tak beralasan untuknya. Sorot mata yang kadang terlihat lelah setiap kali tak kuacuhkan kata-katanya. Sorot mata yang tidak pernah letih berharap aku akan bahagia jika bersamanya. Walau aku sering menafikannya. Walau aku sering menghindarinya. Walau aku sering meragukannya. Ia tetap tak bergeming, dan selalu begitu.

"Aku akan menunggu." putusnya seraya meraih tanganku dan meletakkan cincin itu di genggamanku.

Ia bangkit dari duduknya. Beranjak pergi meninggalkanku. Terus melangkah tanpa menoleh lagi ke arahku.

"Bhisma ...!" panggilku.

Ia menghentikan langkah, berbalik perlahan, menatapku.

Baru ku sadari, ia begitu berharga buatku. Mungkin tidak ada yang bisa mencintaiku sebesar dia. Sudah terlalu lama aku mengabaikannya. Sudah terlalu lama aku berpura-pura buta akan kasih sayangnya. Sudah terlalu lama aku berpura-pura tidak mengerti akan perhatiannya. Sudah terlalu lama pula aku meragukan cintanya. Bahkan kesetiaannya.

"Boleh aku peluk kamu?" tanyaku lirih.

Ia tersenyum lalu merentangkan tangannya ke arahku. Cepat kubenamkan wajah di dadanya. Tempat paling aman untuk menyembunyikan air mata yang sudah sejak tadi berontak ingin keluar dari kelopak mataku. Aku pun terisak di pelukannya.

¤¤¤

"Cinta ...! Sudah makan siang?" tanyanya saat aku tengah menunggu kelas MD. Aku menjawabnya dengan gelengan kepala.

AntologiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang