Cita dan Cinta

80 12 7
                                    

Andra tersenyum penuh harap saat melingkari tanggal yang tertera di agendanya. Pertemuan untuk interview kerja di hari selasa besok. Pikirannya sudah melanglang buana tentang sebuah keberhasilan yang sudah menanti di depan mata. Keberhasilan yang nantinya juga bisa membuatnya makin mudah untuk membahagiakan seorang ibu yang kini tinggal sendirian di rumah kontrakan seluas tiga puluh meter persegi itu.

Kebahagiaan yang mungkin ada di benak orang-orang kebanyakan. Harta dan jabatan. Sama seperti Andra yang tak menampik tentang arti kebahagiaan itu. Ia lanjut menuliskan beberapa target ke depan yang harus diraih. Mulai dari memberi gaji pertama untuk sang ibu, membelikan anting, mendaftarkan umroh, membeli rumah, dan lain sebagainya.

Sejak kematian sang ayah di umur Andra yang masih sembilan tahun, sang ibu merangkap profesi menjadi tulang punggung keluarga. Segala macam pekerjaan ia lakukan. Setelah menyiapkan peralatan sekolah untuk Andra, ia langsung melanjutkan hidup dengan mencari rumput untuk ternak titipan para tetangganya. Lalu membuat berbagai macam gorengan untuk dijual Andra sepulang sekolah. Tak berhenti di situ, ia masih berkeliling di sekitar komplek rumahnya untuk menawarkan jasa sebagai buruh cuci rumahan yang kadang hanya mendapat upah maksimal dua puluh ribu rupiah.

Pulang dengan rasa lelah yang luar biasa, namun masih bisa memberi senyum bagi putra semata wayangnya. Sesampainya di rumah, pekerjaannya belum selesai. Terkadang ia malah hanya menyiapkan sepiring nasi dengan lauk tempe untuk Andra. Baginya, tak perlu makanan. Yang terpenting adalah anak semata wayangnya bisa makan dengan lahap dan bisa menggapai segala mimpinya esok hari.

Sisa gorengan yang tak terjual habis, terkadang menjadi pengganjal perut di pagi hari. Karena dalam sehari, ia hanya bisa memasak secangkir beras, yang cukup untuk makan Andra dalam sehari semalam. Kerak dari nasi yang masih menempel di sisi panci sudah lebih dari cukup untuknya.

Kehidupan Andra tak jauh beda dari sang ibu. Mulai dari berangkat sekolah. Sepulang sekolah menjajakan gorengan buatan ibunya. Terkadang harus mengambil jatah satu gorengan untuk pengganjal perut di siang hari. Menopang lelah berjalan di bawah terik matahari sambil berteriak, "Gorengaaan, gorengaaan..!!"

Sepulang dari berkeliling, ia masih menyempatkan diri untuk mengisi bak mandi dengan air yang masih harus ia timba dari sumur. Karena hasil dari pekerjaan sang ibu tak mencukupi untuk membayar tagihan listrik setiap bulannya jika memasang mesin pompa air.

Beranjak dewasa, Andra mulai melangkah lebih jauh dari rumah. Mencari nafkah sendiri untuk mencukupi kebutuhan sekolahnya, dengan menjadi pekerja paruh waktu di beberapa warung. Tugasnya sederhana, hanya mencuci setiap piring kotor yang ada. Dengan upah maksimal tiga puluh ribu rupiah setiap harinya.

Sang ibu tak mengijinkannya bekerja sebagai buruh bangunan, walaupun upah dari buruh bangunan itu jauh lebih besar dari pekerjaan paruh waktunya yang lain. Alasannya karena, sang ibu tak ingin membuat Andra terlalu lelah, hingga lupa untuk belajar.

Masuk SMA, Andra mendapat bantuan dari sekolah karena nilai raportnya yang selalu ada di atas rata-rata. Begitupun dengan kuliah yang bisa ditempuhnya melalui program bidikmisi. Lulus dengan nilai tertinggi. Dipanggil ke atas podium untuk menerima penghargaan sebagai lulusan terbaik di masanya.

Ada air mata yang bergulir di pipi ibunya waktu itu. Air mata yang baru pertama kali ia lihat selama hidupnya. Air mata haru dan kebahagiaan. Air mata yang juga ia titikkan hari ini saat mengenang setiap perjuangannya bersama ibu yang sangat dicintainya.

****

"Gimana untuk besok Ndra? Siap?" tanya Budi, salah satu teman kampusnya yang juga terpilih mengikuti wawancara di perusahaan yang sama dengannya.

"Siap, insyaallah." Andra menjawab pasti.

"Kalau kamu, tes ini hanya formalitas saja! sudah bisa dipastikan kalau diterima."

AntologiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang