Cinta dalam Diam

82 17 6
                                    

Kusodorkan sebuah cup berisi es boba ke depannya yang tengah asyik dengan layar pintarnya. Seperti biasa, dia hanya menerima tanpa menoleh ke arahku. Jika ternyata yang menyodorkan minuman itu bukan aku, mungkin dia pun tak akan menyadarinya.

"Sibuk apa, sih?" Pupilku sedikit melirik ke arah layarnya.

Tanpa canggung, dia menunjukkan apa yang tengah dia lihat sejak tadi. Sebuah akun instagram dari seorang wanita bercadar. Tak banyak postingan foto tentang gadis itu, selain beberapa quote dan juga potongan-potongan buku bacaan di sertai caption sederhana di setiap gambar.

"Siapa?" tanyaku mulai tak nyaman.

"Namanya ..., Indah," lirihnya.

"Kenalan baru?" Ah ... aku ingin tahu.

Pria di sampingku mengangguk.

"Nggak baru juga sih, udah sebulanan kurang lebih."

"Dan kamu nggak ngasih tahu aku?"

Sedikit bergemuruh rasanya di dada. Biar kuingat-ingat, sebulan yang lalu kalau nggak salah, aku memintanya menemaniku ke toko buku. Namun dia menolak dengan alasan ada pertemuan keluarga. Apa mungkin gadis itu salah satu keluarganya?

Sebenarnya husnudzon ini bukan saja untuk kebaikan dirinya. Akan tetapi juga untuk kebaikanku. Karena dengan begitu, aku tak perlu repot-repot overthink lagi sebelum tidur.

"Maaf, hehe ...."

Dia malah menyeringai. Mematahkan semua pikiran positifku.

"Kenal di mana?" Bodohnya aku, masih saja ingin tahu. Padahal konsekuensinya sudah sangat jelas akan menyakitiku.

"Aku baru masuk grup kelas bahasa inggris."

"Oh ...!" Ku coba untuk menahan tanya lagi. Agar dadaku tak semakin terasa sesak. Sementara wajahnya terlihat sangat tenang sambil terus menscroll akun gadis itu.

Semenit, dua menit, hingga lima menit kemudian, dia malah sibuk berbalas pesan dengan seseorang di layar hijaunya. Seolah tak ada aku di sampingnya. Allah ..., bagaimana aku bisa mengeja rasa yang sebenarnya sudah lama bersarang dalam relung hati ini. Sementara dia tetap melihatku sebagai temannya sejak kecil.

Bagaimana caranya aku menyerah atas hubungan ini? Dengan mengungkapkan perasaanku yang sebenarnya? Atau langsung saja meninggalkan dia tanpa pamit?

Sepuluh menit sudah, aku hanya duduk menemaninya. Tak ada obrolan, atau pun topik yang bisa kami bahas seperti biasanya. Bahkan, pertanyaan basa-basi yang biasanya dia lontarkan pun raib. Ini helaan nafas terakhir yang kubuang dengan berat, sebelum akhirnya kuputuskan untuk beranjak dari tempat itu.

"Mau ke mana?"

Tatapannya mulai berpindah padaku yang baru saja bangkit.

"Pulang," jawabku singkat.

"Kita 'kan baru sampe, kok sudah mau pulang?"

Netraku menengok ke pergelangan tangan. Tak bisakah dia menyadari perubahan dari sikapku kali ini? Bahwa aku cemburu setiap kali dia membahas wanita lain di depanku. Bahkan kali ini, dia juga mulai mengabaikanku.

"Ini sudah lebih dari sepuluh menit, Ndre!"

"Lah, 'kan? Baru juga sepuluh menit. Biasanya kita nongkrong sampai berjam-jam 'kan?"

Ekor mataku menangkap balasan pesan dari layar ponsel Andre. Pria yang sudah bersahabat denganku sejak kami duduk di bangku TK. Sepertinya mereka tengah mengatur janji untuk bertemu. Lagi-lagi hatiku terhunjam duri. Sangat menusuk dan terasa perih.

AntologiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang