"Lucu, ya ...," katanya.

39 6 0
                                    

"Akhirnya, perasaanku padamu terhenti dengan sendirinya."

Deg ..., untuk sejenak jantungku seolah berhenti berdetak. Namun detik berikutnya detaknya justru mengencang. Ucapan itu meluncur dengan mudah dari mulutnya. Menatapku sekilas kemudian membuang mukanya ke arah lain dengan senyuman.

Kupaksakan senyum menanggapi ucapannya. "Baguslah ...," sahutku.

Dia kembali menoleh padaku. Seolah mencari lanjutan dari sahutanku barusan. Sedang aku tak lagi berminat untuk balas menatapnya. Bukan karena muak, melainkan karena tak ingin gemuruh di dadaku terlihat dari ekspresi wajah yang coba kusembunyikan sejak tadi.

"Haha, lucu, ya ...? Saat aku masih memikirkan orang lain, aku sempat menginginkanmu juga."

Lagi, kutarik sudut bibir lebih tinggi. Kali ini dengan gigitan kecil di sisi bibirku. Sepertinya dia belum puas menghunjam hatiku dengan kata-katanya. Baiklah ... Aku hanya perlu bertahan sebentar lagi. Setelah ini, akan kupastikan untuk tidak lagi terhubung dengannya.

Sungguh ....
Manusia begitu mudah berubah-ubah. Padahal beberapa waktu lalu aku masih sering mendapati ribuan perhatian dari dia. Meski hanya sebatas ucapan bukan tindakan. Tapi ya, tak kupungkiri, aku terjatuh pada perangkap itu.

Beberapa waktu lalu, dia masih berkata bahwa dia tak ingin kehilanganku. Tapi kini, dia tak menyadari bahwa kata-katanya telah memaksaku untuk menghilang dari hidupnya. Malu, sakit dan juga kecewa, dia buat sekaligus di hatiku hanya dengan kata lucu, ya ....

"Oh, gitu, ya? Perasaan seseorang bisa selucu itu, ya? Asal kamu tahu saja, aku pun tidak berniat untuk menjalani hubungan apapun denganmu. Aku hanya mencoba menghargai setiap ucapanmu dengan menanggapinya. Tapi tidak pernah menganggap semua perasaan yang kamu ungkapkan dulu sebagai lelucon. Jadi jika kamu merasa bahwa perasaan kamu itu lucu, maka aku tak perlu merasa takut bahwa kamu akan salah paham atas perlakuanku."

Puas? Tidak. Aku sama sekali tidak puas mengatakan itu padamu. Jika kamu merasa perasaanmu benar-benar selucu itu, tentu ucapanku takkan menyakitimu. Namun, jika kau merasa sakit. Coba tanya hatimu sekali lagi! Benarkah perlakuanku selama ini terhadapmu adalah sebuah lelucon untukmu?

Netranya kembali mencari kesungguhan dari ucapanku. Kali ini kubiarkan dia menelisik mataku yang sejak tadi sudah kutahan agar tak memanas. Sengaja kupasang wajah tenang meski mungkin masih terbaca pura-pura olehnya. Tapi sudahlah, masa bodoh dengan itu.

Aku benar-benar penasaran. Adakah rasa sakit juga di hatinya mendengar ucapanku? Ah, biarlah ..., toh banyak sekali pepatah yang mengatakan bahwa wanita bisa saja bersikap seolah-olah sangat menyukai laki-laki, padahal nyatanya tidak. Aku tak peduli bahwa dia akan menyalahpahami lagi.

Hubunganku dengannya memang terbilang tanpa status. Karena aku belum sepenuhnya berani memutuskan perasaanku terhadapnya. Benarkah aku juga jatuh cinta padanya? Atau hanya sebatas karena keterbiasaan dan kenyamanan bersamanya hingga aku menyayanginya. Lagipula dia tak pernah bertanya sekalipun bagaimana perasaanku terhadapnya. Dia hanya asyik menyimpulkan setiap perlakuanku itu sama dengan perasaannya.

Bukan tanpa sebab dia berkata seperti itu. Entah untuk mengusirku pergi atau karena wanita lain yang kudengar juga tengah dekat dengannya. Yang pasti, duri dari perkataannya tadi berhasil menusuk relung hatiku yang paling dalam.

Entah kenapa, aku tak lagi ingin berlama-lama dengannya. Gemuruh di dadaku semakin menjadi melihat dia hanya diam, tak merespon ucapanku. Gegas aku bangkit dari dudukku. "Mau ke mana?" tanyanya.

"Kenapa? Ada yang masih ingin kamu sampaikan padaku?" Nada bicaraku mungkin sudah sangat berubah.

"Kita kan baru sampai di sini."

Aku nyaris tak mengerti jalan pikirannya. Setelah mengatakan hal sekonyol itu, mematahkan setiap perasaan yang sudah coba aku susun setiap harinya, bisa-bisanya dia bilang kita baru sampai di sini? Sepertinya memang aku yang telah salah menyulam perasaan ini untuknya.

"Oya, kemarin kakakku bilang untuk membelikanmu sebuah gelang kupu-kupu. Bagaimana dia bisa tahu tentang gelang itu? Apa kamu pernah membicarakan itu dengannya?"

Aku terkesiap. Kuhela napas dengan kasar, lalu terpaksa berbalik lagi ke arahnya.

"Bagaimana aku bisa tahu? Sedangkan mengobrol dengannya saja, aku tidak pernah," ketusku.

"Oh, lalu dari mana dia bisa tahu, ya?"

"Mana aku tahu. Ya sudah, aku mau pulang. Masih banyak urusan yang harus aku kerjakan."

Cepat kulangkahkan kaki menjauh darinya. Tak kuhiraukan tawarannya yang akan mengantarku pulang. Sejak awal, aku bisa sendiri. Lalu setahun belakangan ini, aku mulai terbiasa dengannya. Jadi saat aku harus kembali lagi sendiri, bukankah itu seharusnya menjadi hal yang mudah bagiku?

Mungkin sekarang pun dia merasa aku berbeda dengan yang dulu. Jelas saja, jika ini ucapannya tadi hanya ingin membuatku cemburu seperti sebelum-sebelumnya, maka sudah waktunya aku bilang lelah. Lelah karena selalu merasa dipermainkan.

Meski hubungan ini belum berstatus apapun, tidak bisakah dia juga menghargai perasaanku? Meski dia tak pernah bertanya bagaimana rasaku padanya, tidak bisakah dia menghargai setiap perlakuanku terhadapnya? Atau mungkin memang dari awal setiap kalimat manis dan perhatian yang dia lontarkan padaku hanya sebatas pengisi kekosongannya saja?

Aku bukan tidak tahu bahwa kehadiranku memang bertujuan membantunya lepas dari masa lalunya. Namun, sesuatu yang sejak awal dia bilang sudah berhasil melupakan mantannya karena kehadiranku, tiba-tiba berubah dengan ucapan, "lucu, ya. Saat aku memikirkan orang lain, aku sempat menginginkanmu juga." Lalu yang benar yang mana?

Air mataku akhirnya luruh juga. Setelah kurasa telah melangkah jauh meninggalkannya, akhirnya tubuhku ambruk. Terduduk di pinggir trotoar dengan tangan menutup wajah. Tergugu dengan isak yang tertahan.

Tak berapa lama, kurasakan sebuah belaian lembut di puncak kepala. Perlahan kuangkat wajah yang tentu masih berlinang air mata. Menatap seseorang yang kini sudah ikut berjongkok di sampingku. Matanya terlihat penuh tanya dan juga penyesalan. Kupikir dia takkan mengejarku, nyatanya aku salah.

"Chika ...," ucapnya lirih.

Cepat kuseka bulir bening di mataku lalu bangkir dari dudukku. Kupaksakan senyum selebar-lebarnya sambil menatap matanya lekat. Tak boleh kutunjukkan kelemahanku di depan dia.

"Aku ...."

"Terima kasih!" potongku cepat.

"Buat?" tanyanya.

"Terima kasih, sudah memperjelas rasamu! Kini, aku pamit dengan sebenar-benarnya pamit."

"Tapi, Chik ...."

"Sudah! Cukup, Dani! Dari awal aku memang hanya ingin membantumu untuk lepas dari rasa sakitmu. Mungkin sekarang memang sudah waktunya aku pergi, karena aku rasa kamu sudah benar-benar sembuh dari rasa sakit itu."

"Tapi ini bukan berarti hubungan kita juga harus berakhir 'kan, Chik?"

"Bagiku, harus! Karena tugasku dalam kehidupanmu mungkin sudah selesai. Kini sudah waktunya bagiku untuk menyelesaikan tugas baruku yang lain."

Sudah kucoba sebisanya untuk menahan bening kristal itu, tapi tetap saja tak berhasil. Dia meluncur dengan cepat membasahi pipiku yang memerah. Kutarik mundur langkahku menjauhinya, sebelum akhirnya aku berlari sekencang mungkin menembus angin sore itu. Meninggalkannya dengan sebenar-benar meninggalkan.

TIN ... TIN ... TIIIIIIN, BRAAKHH ....

****

AntologiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang