Cinta Pertama

43 9 1
                                    



Minggu lalu aku memang tidak mengikuti acara rutin mingguan dari yayasan tempatku belajar agama. Biasanya setiap malam minggu ada kegiatan belajar khitobah, MTQ, ataupun Qiroah bagi anak-anak muda di desa Asembagus. Berpindah dari satu yayasan ke yayasan lainnya.

Kebetulan aku memang rajin mengikuti setiap kegiatan itu. Bagaimana tidak rajin, jika pendiri yayasan di rumah adalah pamanku sendiri. Hampir tidak ada bahan yang bisa kujadikan alasan untuk bolos meski hanya sekali.

"Kemarin ada yang nanyain kamu, loh, Ly!" ujar salah satu temanku yang bernama Memeng.

Nama panjang Memeng sebenarnya adalah Nur Jamila, hanya saja aku dan yang lain lebih suka memanggilnya begitu. Karena dia memiliki postur tubuh yang sedikit lebih gempal dibanding kami. Nama itu tentu jauh lebih cute bagi dirinya. Berbeda lagi dengan panggilan dari sesepuh di rumah, Emil.

"Siapa?" tanyaku sambil menghentikan aktifitasku yang tengah merangkai bunga-bunga flanel. Maklum, tugas sekolah sekarang juga berhubungan dengan yang namanya produk kreatif.

"Bagas," jawabnya pendek.

Kukernyitkan dahi, netraku berputar ke atas. Mencoba mengingat-ngingat nama itu.

"Siapa?" ulangku karena tak kunjung ingat sama wajah dari nama itu.

"Itu, loh. Yang sering jadi lawan kamu kalau lagi qiro'ah."

"Lawan aku? Yang mana?"

"Hemm ... yang paling cakep itu, loh. Yang paling sering dipanggil ustad buat praktek di depan."

Mata Memeng membulat. Dia memang selalu punya ekspresi begitu setiap kali membicarakan sesuatu. Terlalu antusias.

Kepalaku menggeleng cepat, aku belum bisa mengingatnya.

"Aduh, kamu tuh, ya! Besok wes, kalau sudah malam minggu lagi, kamu harus hadir. Nanti aku kasih tahu!"

"Oke!" jawabku seraya mengangguk dan langsung kembali menyibukkan diri dengan pekerjaan rumah yang belum selesai.

****

Malam minggu yang ditunggu tiba. Aku bersama ketiga teman yang salah satunya adalah Memeng berangkat ke lokasi acara. Teman-teman yang lain sudah lebih dulu berangkat. Tinggal kami berempat yang tertinggal.

Masjid Yayasan Nurul Huda tampak sudah lengang dari luar. Jejeran sandal berbagai macam model juga sudah tertata rapi di emperannya. Suara microfon diketuk berkali-kali untuk sekedar testing terdengar sedikit mengagetkan.

Kami berempat mengendap, menaiki undakan teras masjid pelan-pelan. Lalu dibantu teman-teman yang sudah lebih dulu hadir, kamipun berhasil menyusup ke dalam barisan mereka. Namun sayang, rupanya Ustad Baidhowi menangkap pergerakan kami.

"Itu yang baru datang, ke depan!"

Tangan pria paruh baya itu menunjuk ke arah kami. Terang saja hal itu langsung menyita perhatian dari para santri lainnya. Melihat dari ekspresi Memeng dan dua temanku yang lain, pastilah ekspresiku juga tak kalah beda. Malunya, masyaallah.

Daripada makin menyita perhatian, kami berempat pun maju. Tentu dengan kepala tertunduk sambil sesekali memilin senyum.

"Loh, ini, Mely?"

Lantang sekali ustad ini menyebut namaku. Aku meringis lalu mengangguk. Kepalaku makin terasa berat untuk di angkat.

"Hmm, Minggu kemarin ke mana?" tanyanya lagi.

"Anu, Ustad. Saya lagi sakit."

"Sakit apa?"

Bagai tahanan kami diberdirikan di tengah-tengah para santri yang lain. Sementara yang diinterogasi hanya aku. Jika aku mengeluh tentang hal ini, pastilah orang-orang akan berkata ini adalah bentuk perhatian dari Ustad Baidhowi.

AntologiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang