Masih ...

28 8 1
                                    

Aku tengah fokus pada tulisanku hingga tak sadar bahwa salah satu sahabatku sudah berdiri di sampingku sejak tadi. Bukan tidak mungkin dia pun pasti sudah ikut mencuri baca apa yang aku tulis. Benar, hobi menulisku sejak di Sekolah Menengah Pertama itu sudah bukan menjadi rahasia. Apalagi di kalangan teman-teman sekelasku. Hampir tiap hari mereka akan bergiliran membaca hasil dari tulisanku, lalu mulai memberi usulan ataupun reaksi-reaksi lebay yang cukup membuatku senang. Maklum, aku menulis masih pada lembar-lembar bergaris di buku tulis.

Selain masih SMA, keluargaku juga termasuk dari keluarga menengah ke bawah. Jangankan untuk membeli laptop, untuk membeli paket data saja, aku harus menyisihkan sebagian dari uang sakuku. Beruntung aku masih mempunyai sahabat-sahabat yang kadang bergantian meminjamkan laptopnya agar aku bisa menyalin tulisan-tulisanku.

"Masih dia tokoh utamanya?" Suara itu jelas mengagetkanku. Lekas kututup buku bersampul cokelat di depanku, sementara pulpen masih terjepit di sela jari.

"Hadeeeh! Kapan kamu mau sadar, kalau dia itu nggak pantes buat dapat tempat se-spesial itu di hati kamu, Rin?" tanyanya sebal.

"Iseng aja, kok, Bel!" elakku sembari menggeser tubuh agar dia bisa duduk di sampingku.

"Jangan bilang kalau cerpen itu untuk majalah sekolah lagi?" Telunjuknya mengarah tepat ke mukaku.

"Enggak, lah!" jawabku cepat.

Mata gadis bernama Abel ini nampak tak percaya akan jawabanku.

"Serius!" Kuangkat dua jari di tanganku, memberi simbol serius seperti biasa.

"Awas aja kalau sampai aku denger naskah itu nyampe lagi di meja redaksi!"

Dia yang kebetulan juga anggota dari redaksi majalah sekolah dengan tegas mewanti-wanti.

"Iya, nggak akan," janjiku.

***

Sebuah buku terlempar ke atas mejaku. Aku yang saat itu tengah meraut pensil menggunakan cutter jelas sedikit terkejut. Selain dari lemparan buku yang tiba-tiba, juga karena aku tahu betul itu buku milik siapa. Yang paling mengejutkan lagi adalah ... si pelempar buku. Ya, laki-laki yang selama ini selalu menjadi tokoh utama dalam ceritaku. Arjuna.

Dia berdiri beberapa langkah dari mejaku, tangannya terlipat di depan dada. Pandangannya terlihat tak suka padaku, lebih terkesan jijik sepertinya. Padahal, setahun yang lalu hubungan kami tidak begitu. Bisa dibilang kami cukup dekat dulu, tapi sejak dia tahu perasaanku lewat setiap tulisan yang kukirimkan ke redaksi majalah sekolah, dia tak hanya mulai menjauh, dia bahkan terang-terangan mengumumkan hubungannya dengan seorang gadis lain di kelas sebelah. Meski tak secara langsung menolak perasaanku, tapi lewat caranya yang seperti itu, aku sadar bahwa perasaanku hanya sepihak.

Beralih pada buku yang kini ada di hadapanku. Bagaimana bisa buku itu sampai padanya? Sementara aku tak pernah mengirimkan buku itu ke meja redaksi. Bahkan jika pun aku ingin mengirim apa yang kutuliskan di sana, tentu aku hanya akan menyalin beberapa bait ke dalam kertas lain terlebih dahulu.

"Sekali lagi kamu kirim puisi-puisi kamu ke meja redaksi, kamu pasti akan tahu akibatnya!"

Dadaku bergemuruh mendengar ancamannya. Sakit dan merasa sangat dipermalukan. Dia pergi tanpa mendengarkan penjelasanku terlebih dahulu.

Seketika mataku memanas. Cutter yang kugenggam erat tak terasa mengenai beberapa ruas jari tangan, meninggalkan bercak darah di atas lembar cokelat bukuku. Jika bukan karena teriakan Abel dari arah pintu, tentu aku takkan sadar bahwa cutter itu telah cukup dalam menggores jemariku. Jika kisah Nabi Yusuf menceritakan tentang tergoresnya jari-jari para istri bangsawan tanpa sadar karena takjub akan ketampanan sang nabi, aku berbeda.

AntologiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang