Jangan dipaksa

21 1 0
                                    

Gemerisik hujan terdengar dari balik jendela. Mendung yang kukira hanya akan menjadi penyejuk siang seperti kemarin, nyatanya menurunkan rintik airnya hari ini. Membuat aroma petrichor menguar jelas di hidungku.

Aah ..., rasa rindu itu juga kembali mendekapku. Rasa rindu pada seseorang nun jauh di sana. Seseorang yang dulu di setiap hujan akan selalu mengirimkan gambar makanan-makanan hangat untuk sekedar mengimingiku. Dia juga tak pernah absen untuk mengirimkan gambar-gambar indah saat hujan di negara yang dia tempati kala itu. Hanya karena aku mengatakan bahwa aku menyukai hujan.

Lamunanku tentangnya buyar saat terdengar suara dari teman-teman sekelasku menjawab salam dari dosen. Ternyata kelas sudah usai. Namun aku enggan beranjak dari tempatku. Beruntung, aku mendapat tempat duduk di sisi jendela kali ini. Jadi tak perlu berpindah tempat lagi hanya untuk menikmati pemandangan air yang turun dari langit itu.

Satu-satunya hal yang masih selalu ku kenang dan kuingat tentangnya adalah, saat dia mengatakan bahwa dia bukan seseorang yang mudah suka atau pun rindu pada seseorang yang belum pernah dia temui sebelumnya. Tapi saat itu tiba-tiba dia bertanya, "kamu sehat? Kamu nggak ada masalah apa-apa kan di sana?"

Dengan bingung aku pun menjawab, "sehat kok alhamdulillah. Tumben tanya begini?"

Balasan dia yang merupakan sebuah cerita itulah yang membuat jantungku mulai berdebar. "Biasanya aku nggak pernah memimpikan seseorang yang belum pernah aku temui di dunia nyata. Tapi semalam, aku memimpikanmu. Itu artinya ..."

Satu menit, tiga menit, hingga lima menit berlalu kutunggu kelanjutan kata-katanya dengan berdebar.

"Artinya apa?" Aah ... Nyatanya sabarku setipis tisu.

Dia hanya membalas dengan emot senyum.

"Dih, kalau mau ngegantung ceritanya, mending nggak usah cerita," sebalku.

"Dih, hahaha, cieee nungguin ya ...."

Sayangnya percakapan ini hanya lewat chat. Jika dia ada di depanku, sudah kupastikan cubitanku akan mendarat manis di lengannya.

"Artinya, aku kangen."

"Sama?" Masih kucoba memancingnya untuk jujur meski aku sudah paham.

"Sama kamulah, kangen banget malah."

Senyumku merekah membaca sebaris kalimat di aplikasi hijau itu. Apalagi ada emot monyet menutup muka di akhir kalimat. Gemes. Bahkan saat ini senyumku masih berulang setiap kali mengenang moment itu.

"Mbak Shofi ...!"

Lagi-lagi lamunanku harus buyar karena suara panggilan di bingkai pintu. Seorang gadis cantik, berhidung bangir, berdiri menatapku dengan wajah sedih. Lekas aku bangkit dari duduk sambil bertanya kenapa.

Gadis itu menghambur ke arahku. Tangisnya pecah saat tangannya ikut memelukku. Aku bergeming dan hanya bisa mengelus punggungnya, mencoba menenangkan. Sabar kutunggu hingga tangisnya reda.

"Dia mau nikah, Mbak ...."

Dia? Dia siapa? Ah ... Hampir saja aku lupa. Pasti pria itu. Revan, sahabat Fitri dari sejak mereka di sekolah menengah pertama.

Dari dulu Revan memang selalu menjadikan Fitri prioritasnya. Pria itu juga hampir tiap hari berkabar, atau bahkan memberi perhatian-perhatian kecil pada Fitri. Gadis yang masih menangis di pelukanku ini juga tak pernah absen menjadi tempat curhat darinya.

Cinta dalam diam yang dimiliki Fitri mirip dengan kisahku dahulu. Aah ..., wanita memang ahlinya dalam memendam perasaan. Bahkan kita mampu menahan rasa sakit tiap kali mendengar mereka bercerita tentang wanita lain.

Tangis itu akhirnya reda. Kuajak dia untuk duduk di sampingku sembari menyodorkan botol minuman yang tadi sempat kubeli sebelum masuk kelas. Berharap dia bisa sedikit tenang agar leluasa bercerita.

"Sudah mau cerita? Atau mau menenangkan diri dulu?" Tanyaku.

Dia mengangguk lalu menarik tisu yang ada di tanganku. Syukurlah, setidaknya bercerita adalah salah satu cara untuk sedikit meringankan beban di hati bagi kami kaum wanita. Jika mendapati wanita menangis, jangan pernah menyuruhnya untuk berhenti menangis. Karena mengeluarkan air mata bagi kami juga merupakan salah satu cara untuk meringankan sesak di dada. Menangis adalah cara kami mengeluarkan uneg-uneg tanpa berkata-kata. Sama seperti kita saat menghadapi balita yang tantrum. Diamlah dan tunggulah hingga tangis itu mereda.

"Gimana caranya agar bisa lupa, Mbak?" Tanyanya parau.

"Lupa sama apa dulu?"

"Semuanya. Tentang dia."

Aku tersenyum tipis. Ah ... Lagi-lagi aku mengingat moment itu. Moment di mana aku berada di tempat Fitri saat ini. Bedanya hubunganku hanya virtual, sementara Fitri di dunia nyata. Jika aku yang virtual saja butuh waktu bertahun-tahun untuk baik-baik saja, apalagi Fitri? Jika aku yang kenangannya hanya lewat chat saja butuh perjuangan keras untuk lupa, apalagi dengan Fitri?

"Jangan dipaksa! Nikmati saja!" Jawabku.

"Hmm?" Pandangannya teralih padaku. Tak mengerti.

Kuanggukkan kepala sambil tersenyum. "Karena semakin kita paksakan untuk lupa, semakin kita akan ingat pada setiap detil kenangan bersamanya," jawabku kemudian.

"Tapi, bukannya Mbak Shofi dulu pernah bilang, bahwa kita harus melepaskan sesuatu yang menyakiti kita?"

"Jelas, menikmati bukan berarti harus tetap menggenggam, Fit. Jika itu duri yang indah, lalu kita genggam, bukankah akan melukai semakin dalam. Tapi jika kita lepas dan menikmati keindahannya dari jauh, bukankah tangan kita akan aman dari luka?"

Dari ekspresinya sepertinya Fitri mulai mengerti maksudku.

"Lupa itu hak preogratif Allah. Sementara mencoba untuk lupa itu usaha manusia. Namanya usaha, kamu bisa lakukan apa saja. Mencari kesibukan, berkumpul dengan orang-orang baru, dan yang paling penting, belajar untuk menjauh dan tidak selalu mengiyakan permintaannya. Meski itu hanya sekedar mendengarkan curhatannya. Tapi balik lagi, kita hanya bisa berusaha, sementara hasilnya tetap Allah yang memutuskan."

Bulir bening itu kembali menetes di pipi merahnya. Kuraih tangannya perlahan, lalu menggenggamnya.

"Kenapa sesakit ini, Mbak?" Dia kembali terisak.

"Kenapa sakit? Karena ada harapan di hati kita, yang mana harapan itu bukan digantungkan pada Allah, tapi pada makhluk ciptaan Allah. Yaitu dia. Makanya sakitnya double kill.

Seseorang yang kita anggap _jika dengannya aku pasti bahagia karena aku mencintainya_ bisa jadi menurut Allah malah sebaliknya.

Bagaimana jika ternyata dunia tak seindah pelangi saat Allah satukan kita sama dia? Misal, saat nikah sama dia, malah dia KDRT, tidak secara fisik tapi secara mental. Naudzubillah bukan?

Jika kita ngerasa sakit hari ini, itu pertanda kecil kasih sayang Allah. Bahwa mungkin Allah sudah menyiapkan orang lain yang levelnya jauh jauh di atas dia, yang sayangnya melebihi dari rasa sayang kita sama dia, yang jika kita sama orang yg dipilihkan Allah ini malah bikin kita akhirnya berkata : _untung dulu aku tidak dengannya_.

Tinggal yakinnya saja ditambah, bahwa Allah pasti menggantinya dengan yg jauh lebih baik. Tawakkalnya diasah, bahwa segala yg ditetapkan oleh Allah sudah pasti yang terbaik buat hidup kita. Hasbunallahnya dikencengin.

Kita punya Allah. Dia yang menempatkan kenangan itu di pikiran dan hati kita. Jadi rayu Dia untuk menghapus ingatan itu sekaligus jejaknya."

Tangisnya makin jadi setelah mendengar ucapanku. Disertai dengan istigfar yang terdengar lirih.

Tak apa, Fit. Menangislah hari ini, daripada kau menangis nanti. Jika perlu, menangislah hingga lelah. Sampai akhirnya kau putus asa untuk berharap lagi tentangnya.

Seperti aku yang kini sudah tak lagi menangis saat mengingatnya. Jika ditanya bagaimana perasaanku sekarang, mungkin masih ada. Hanya saja keinginan untuk memilikinyalah yang sudah menghilang.

-End-

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 12 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

AntologiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang