Kejamnya Pendidikan

112 21 7
                                    

Dunia pendidikan menurutku tak hanya kejam bagi murid, tapi juga kejam bagi para pendidik atau yang biasa disebut sebagai guru. Bagaimana tidak, pagi ini, ku dapati guruku yang terlihat sangat lelah memasuki ruang kelas.

Selama dua jam pelajaran, aku melihatnya terus menguap sambil mengoreksi setiap tugas yang kami kumpulkan. Sebagian dari kami ada yang berbisik tentang kelakuannya. Ada pula yang hanya tertawa menatap. Dan selebihnya, menatap prihatin kepadanya, seperti aku.

Jam pelajaran usai dengan bunyi bel tanda istirahat jam pertama. Setelah menutup pelajaran dengan salam, kulihat guruku terburu-buru turun menuju kantor. Maklum, kelas kami berada di lantai dua. Sementara ruangan di lantai bawah, dijadikan kantor dan beberapa lab komputer.

Aku sebagai ketua kelas, mendapat tugas untuk membawakan sebagian tugas teman-teman yang belum dikoreksi ke kantor. Ku tengok kantor yang terlihat sepi dengan pintu terbuka. Tak ada orang.

“Cari siapa, Vin?” suara itu mengagetkanku. Bu Yanti, berdiri tepat dibelakangku yang tampak melongo ke dalam ruangan.

Cepat ku pasang senyum semanis mungkin, sambil mengangguk.

“Cari Bu Ria, Bu,” jawabku kemudian.

“Oh, tadi masih ke kamar mandi. Ada apa?”

Belum sempat ku jawab pertanyaan dari Bu Yanti, terlihat Bu Ria baru saja keluar dari arah toilet yang letaknya memang berada di samping kantor. Toilet yang juga digunakan oleh siswi. Wajahnya nampak basah, sebagian dari jilbabnya basah karena air.

“Ini dia!” kata Bu Yanti sambil lalu melangkah masuk ke dalam ruangan. Melewatiku.

“Sini, Vin! Masuk!” Bu Ria mengajakku masuk ke dalam ruangan berkarpet hijau itu. Menuju meja bertaplak warna senada dengan karpetnya.

Sebelum masuk, ku buka sepatuku. Meniru Bu Ria dan Bu Yanti yang juga masuk tanpa alas kaki. Sepatunya di biarkan terparkir di depan pintu.
“Sudah lengkap semuanya?” tanya Bu Ria sambil memasang kaus kakinya.

“Sudah, Bu!” jawabku yang masih berdiri di sampingnya. Tak berani duduk di kursi pojok yang terbuat dari kayu jati berplitur itu. Sengaja, ku lirik Bu Ria yang sudah asyik dengan gawainya di depak komputer. Di mejanya terdapat sebuah papan nama bertuliskan, bendahara sekolah.

“Taruh di sini saja, Vin!” pintanya sambil menunjuk meja di depannya.

Aku menuruti perintah Bu Ria. Meletakkan tumpukan buku tulis di atas meja.

“Oya, Bu Ria sekalian minta tolong, bisa?”

“Bisa, Bu!” aku langsung menjawab bisa, padahal aku sendiri belum tau apa yang akan disuruhnya.

Bu Ria menarik tas ransel yang biasa dia bawa ke sekolah. Mengeluarkan sebuah jurnal yang terlihat masih baru. Lalu membuka lembar demi lembar jurnal itu. Mencari lembar kosong sepertinya.
“Sini, tolong tuliskan nama temen-temen kamu ya! Ini absennya!” Bu Ria kembali menyodorkan sebuah absen pribadi miliknya.

Ragu, aku mengambil tempat duduk di samping meja, tidak di kursi yang di tempati Bu Ria.

“Loh, duduk di atas saja!”

“Ndak usah, Bu! Lebih enak begini!” aku masih berusaha sopan. Cepat ku keluarkan pen yang memang selalu nangkring di saku bajuku. Dan tanpa bertanya lagi ku tulis satu persatu nama teman-teman sekelasku. Sementara Bu Ria mulai menyibukkan diri mengoreksi buku-buku yang tadi ku bawa.

“Capek banget kelihatannya, Bu?” tanya Bu Yanti saat ku lihat Bu Ria yang kembali menguap. Menahan kantuknya dengan menggeleng-gelengkan kepalanya.

Bu Ria tersenyum sambil memijat-mijat pelipisnya.

AntologiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang