Pria Peminum Khamr

103 16 3
                                    

Zaman sekarang banyak yang mengaku hijrah. Hijrah yang dimaksud bukan berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain seperti pada zaman nabi. Melainkan proses berubahnya seseorang dari buruk menjadi baik.

Sangat marak di dunia anak muda sekarang kata-kata itu. Bahkan bisa dibilang sudah menjadi trend. Dari yang semula berpakaian serba ketat, tiba-tiba berubah menggunakan pakaian syar'i. Dari yang suka dugem, nongkrong nggak jelas, jadi suka ikut kajian.

Suatu hal yang positif memang. Hanya saja kadang dibarengi dengan pengetahuan yang hanya mereka dapatkan dari media sosial atau ustad-ustad muda yang selalu menggembar-gemborkan kebaikan lewat dakwah-dakwah pendeknya di beberapa media sosial.

Seperti salah satu temanku yang tiba-tiba saja menunjukkan perubahan yang luar biasa di depanku. Sebelumnya dia memang bukanlah wanita yang membuka aurat. Hanya saja cara berpakaiannya memang sedikit ketat dan masih menunjukkan lekuk tubuh, meski kepalanya sudah tertutup jilbab. Tak jarang jilbabnya juga tidak menjuntai menutupi dadanya. Hanya sekedar diikat ke belakang.

Mataku nyaris tak bisa berkedip. Aku bahkan tak tahu, dia tengah tersenyum atau malah meringis melihatku tercengang menatapnya dari ujung kepala hingga kaki. Pasalnya tubuh itu tertutup sempurna. Dengan hijab yang juga menjuntai ke bawah pantat. Dilengkapi dengan niqab berwarna hitam pekat di wajahnya. Hanya tersisa sepasang mata yang masih bisa ku lihat.

"Hai, Di," sapanya.

Seandainya aku tak hafal suaranya, mungkin yang terpikir dia adalah murid baru di kelas.

"Nayaaa?" tanyaku tak percaya.

Matanya menyipit, ku tebak dia tengah tertawa sembari duduk di sampingku.

"Ya Allah, aku pikir siapa, loh."

"Biasa aja, ih. Masih belajar ini."

"Kamu kesambet di mana?"

"Sembarangan, ih."

Dia menepis tanganku yang berusaha mengintip wajahnya. Tenang saja, ketakjubanku ternyata tak sendirian. Beberapa teman sekelas juga banyak yang terpaku tak percaya menatap Naya.

"Bisa ya berubah dalam semalam?"

Mungkin pertanyaanku seperti tengah meledeknya, tapi aku benar-benar penasaran. Bukan karena ingin meledek.

"Sebenernya aku dah punya niat sejak lama. Cuma baru yakinnya sekarang," terangnya.

"Oh, madzhab apa emang?"

Aku memang tidak begitu paham agama. Namun karena waktu sekolah menengah, orang tua memasukkanku ke lembaga tsanawiyah, jadi sedikit banyak aku tahu istilah-istilah religius begitu.

"Masih madzhab Syafi'i, kok, Di."

"Ah, masa? Perasaan madzhab Syafi'i nggak seketat ini."

"Jangan salah! Justru batas aurat wanita di madzhab Syafi'i itu seluruh badan kalau bukan waktunya sholat."

Aku mengernyit, dahiku berlipat, bingung. Aku yang memang tidak tahu, atau aku yang salah paham? Teman sebangkuku ini menepuk lembut punggung tanganku yang nangkring di atas meja.

"Ekspresi kamu persis seperti aku saat pertama kali tahu juga, loh, haha ...!"

Ku dengar dia tertawa lirih.

"Keluarga kamu gimana?"

"Baik."

"Bukan itunya."

"Terus?"

"Responnya."

"Oh, aman-aman aja, sih."

Kumajukan tubuh mendekat.

AntologiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang